https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F4.bp.blogspot.com |
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan"
(TQS. al-Mujadalah: 11)
Imam Ibnu Katsir, dalam Tasfsirnya Al-Qur'an al Azhim, Juz IV, hal 324,
mengatakan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mendidik kaum muslimin agar bersikap
baik satu sama lain di dalam majlis. Janganlah satu sama lain mempersempit
tempat duduk, sehingga seolah-olah yang satu menghalangi keberadaan dan
kehadiran yang lain dalam majlis.
Majelis
yang dimaksud dalam ayat di atas, sebagai asbabun
nuzul (sebab turunnya ayat), menurut Qutadah
ra., yang dikutip Ibnu Katsir adalah majelis dzikir di masa Rasulullah yang
selalu dipadati kaum muslimin. Pada waktu itu, jika ada salah seorang dari kaum
muslimin ingin maju ke depan, maka orang-orang menghalanginya. Lalu turun
firman Allah yang melarang perbuatan mereka dan menyuruh mereka agar memberi
kelapangan.
Imam Az
Zamakhsyari dalam tafsirnya Al
Kasysyaf juz IV hal 479, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan majelis itu
adalah majlis Rasulullah yang selalu dipenuhi oleh kaum muslimin. Mereka
senantiasa bersaing untuk mendekati Rasulullah karena sama-sama antusias
mendengarkan pembicaraan beliau saw.
BUAH TAWADHU
Dalam
ayat tersebut Allah berfirman: "...lapangkanlah,
niscaya Allah akan memberikan kelapangan untukmu". Menurut Imam Ibnu
Katsir, susunan pernyataan Allah itu menunjukkan bahwa pahala suatu amal shalih
itu sejenis dengan amalan itu sendiri (tentunya dengan kualitas dan kuantitas
yang lebih besar. Wallahu a'lam).
Sebagaimana hadits Rasulullah saw: "Siapa
saja yang membangun sebuah masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangun
sebuah rumah bentuknya di Surga".
Dalam
hadits lain Rasulullah bersabda: "Siapa
saja yang mendahulukan seorang yang sedang mengalami kesulitan (misal
keuangan), niscaya Allah akan memudahkan dia di dunia dan di akhirat. Dan Allah
senantiasa akan menolong hambaNya selama hamba itu senantiasa menolong
saudaranya".
Allah
berfirman: "Maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".
Imam Az Zamakhsyari (ibidem),
menukil pendapat Imam Ahmad yang
mengatakan bahwa balasan berupa peningkatan derajat dalam ayat itu sesuai
dengan amal yang bersangkutan. Sebab yang diperintahkan adalah melapangkan
majlis agar mereka tidak saling berebut dan saling sikut untuk mendekati tempat
yang tinggi di sekitar Rasulullah. Siapa saja yang tunduk dengan perintah
Allah, berarti memberi kesempatan kepada orang lain untuk maju dan mengundurkan
diri dari rebutan itu lantaran tawadlu' (rendah hati) dan taat kepada Allah
SWT. Dan untuk memudahkan orang-orang berilmu bersikap tawadlu' Allah
menjanjikan pahala pengangkatan derajat bagi mereka. RAsulullah saw bersabda:
"Siapa saja yang bertawadlu'
(bersikap rendah hati) karena Allah, niscaya Allah akan meninggikannya".
KEUTAMAAN ORANG BERILMU
Allah
SWT telah menjanjikan dalam ayat tersebut bahwa Dia akan mengangkat derajat
orang-orang mu'min yang tunduk kepada perintahNya dan perintah RasulNya. Dan
secara khusus Allah menyebut janji itu untuk orang-orang yang berilmu diantara
orang-orang yang beriman itu. Janji Allah SWT secara nyata menandaskan
penghargaan Islam kepada ilmu dan orang-orang yang berilmu. Bahkan dalam ayat
lain Allah memberikan penghargaan secara khusus kepada orang-orang berilmu
dalam firmanNya: "Katakanlah: Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?
Sesungguhnya orang berakallah yang dapat menerima pelajaran" (TQS. Az Zumar: 9)
Imam
Az Zamakhsyari (ibidem) mengutip sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan
orang-orang berilmu dari orang-orang yang tidak berilmu.
"Jarak antara seorang alim (orang yang berilmu) dan seorang abid (tukang
ibadah yang tidak berilmu) adalah seratus derajat/tingkat. Jarak diantara dua
tingkat itu adalah perjalanan kuda selama 70 tahun" (HR Abu Ya'la dan Ibnu Adi).
"Keutamaan seorang alim atas seorang abid bagaikan keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang-bintang" (HR Ashabu as-Sunan)
"Pada hari kiamat nanti ada tiga golongan yang akan memberi syafa'at,
para nabi, lalu para ulama, lalu para syuhada" (HR Ibnu Majah, Abu Ya'la, Ibnu Adi, al Aqili dan al Baihaqi).
Kata
Az Zamakhsyari, agungnya martabat orang-orang berilmu berdasarkan kesaksian
Rasulullah adalah berada diantara para nabi dan para syuhada.
Imam
Ibnu Katsir (ibidem), mengutip hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abi Thufail Amir bin Watsilah
bahwasanya Nafi' bin abdil Harits
bertemu dengan Umar bin al-Khaththab ra
di Asfan --waktu itu Umar telah mengangkatnya sebagai wali (gubernur) Makkah, lalu Umar bertanya kepadanya: "Siapa yang engkau serahi melaksanakan
tugasmu di sana?" Abdul Harits menjawab: "Ibnu Abzy, seorang maula (mantan budak kami)". Umar bertanya,
"Anda serahkan kepemimpinan kota
Makkah kepada seorang maula?". Dia menjawab, "Wahai amirul mu'minin, dia ini seorang
pembaca (qori') kitabullah dan alim tentang fara'idl" Lalu Umar ra
berkata: Sesungguhnya nabi kalian telah
bersabda: "Sesungguhnya dengan kitab Al-Qur'an ini Allah mengangkat
(martabat) suatu kaum dan meletakkan yang lain".
Kini
jelaslah bahwa ilmu menjadi sebab naiknya derajat seseorang, bukan nilai rapor,
gelar-gelar akademis, ijazah atau sertifikat! Oleh karena itu, pantaslah Ibnu
Mas'ud ra apabila membaca ayat ini beliau mengatakan: "Wahai manusia pahamilah ayat ini dan
hendaklah ayat ini membuat kalian mencintai ilmu".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar