Senin, 03 Februari 2014

Catatan langit

Aku menatap tanggal kalender yang tergantung dihadapan kursi belajarku. Sudah berganti tahun yang bersambut dari akhir ke awal, tapi waktu masih betah menyembunyikan jawab akan catatan langit yang masih menghadirkan Tanya “ kapan? Dan siapa?”. Pertanyaan pasrah dari kelancangan hatiku memberikan sebuah ruang untuk seorang gadis yang aku tidak tau mengapa dia yang terpilih hati dan apakah ada namanya dicatatan langit. Aku menghela nafas gamang, tidak mengerti mengapa belum bisa menjawab Tanya ku sendiri “mengapa dia yang terpilih hati?” sedang aku sadar bukan seperti dia yang ku ingin. Bahkan sampai namanya terucap dalam bait doaku dalam sujud sujud panjang di sepertiga malam, akupun masih belum mengerti. Aku tidak berani maju untuk mengkhitbahnya, karena aku belum menemukan jawaban itu. Mengapa?.

***
“oke, thanks untuk semua koreksian yang kalian sampaikan” aku memberi aploues ke personal tim ku.  Aku dipercaya oleh atasan untuk memimpin proyek penggarapan nursery akasia untuk ditanam di perkebunan RAPP.  Tim kami terdiri dari lima orang, tiga lelaki dan 2 gadis.  Ada yang selalu menarik perhatianku untuk focus kesalahseorang hawa di tim ku. Lalita.  Gadis berkerudung yang terlalu pendiam dalam pertemuan rapat rapat kami.  Memang posisinya sebagai bendahara pengelola keuangan, tapi aku juga ingin dia menyumbangkan pemikirannya yang tak pernah benar2 ku ketahui secara pasti jika dia tak pernah bersuara.
“lalita apa komentar mu?” dia hanya menjawab sekenanya. Aku tidak berani menginterfensi lebih. Entahlah. Biasanya kolerisku selalu bisa membuat orang2 disekitar ku melakukan apa yang aku mau. Tapi lalita memaksa diriku untuk menghadirkan sikap lembut, mendengar dan memahami. She is silencer. No comment. Just nodding of head.  aku tak pernah berpikir jauh tentang rasa saat itu. Tidak tertarik. Apa yang dimiliki gadis seperti lalita?.  Hingga disatu momen aku menemukan sosok lalita yang berbeda. Gelar baru dari ku untuknya, diam menghanyukan.  

***
Tambahan teory tentang nursery akasia menggiringku untuk menjelajahi dunia googling karena file kuliah yang tersimpan di memori otakku waktu kuliah di fakultas kehutanan gagal ditemui. Ketika itu kutemui sebuah CV bernama lengkap Dr. Lalita purwaningsing bertuliskan inggris. mungkinkah ini milik lalita yang ku kenal?. seksama ku membaca dan yakin hati baru muncul saat lihat foto 3x4 di CV itu.   benar rupanya.  Catatan CV yang amazing, ternyata lalita adalah seorang scientist yang kerap mengisi seminar2 nasional dan internasional, penulis opini yang sering terbit di koran2 bergengsi, dan penulis.  Kombinasi otak kiri dan otak kanan yang seimbang.  Aku terpana.  Seketika ku rasa simpati menjalar ke otakku terhadap seorang lalita si pendiam yang menghanyutkan. Harusnya dia bisa menyumbangkan ide terbaik untuk keberhasilan proyek itu tapi dia selalu mengizinkan aku untuk memimpin kami semua tanpa ada koreksi menggurui dari hal2 yang sebenarnya dia lebih tau dariku. Seketika ciut nyali ku yang sempat menjengkal lalita. Tenarnya tidak mengubah sikapnya yang selalu tenang dan tak terkesan menyombongkan diri.  tapi lalita yang gak tenar atau gue yang kuper? ah apapun yang kurasa perlahan pesona lalita menyelusup hatiku.
***
“ngopi dik?” tegur fatir, rekan kerja di tim yang aku pimpin. Sahabat sejawat yang langgeng sejak kuliah hingga meniti karir.  
“eh, gak gue masih mau menyelesaikan kerjaan dulu”. Jawabku menoleh sekilas ke fatir yang sedang menenteng secangkir kopi panas. Sebenarny ingin sekali aku beranjak ke pantry sebentar untuk menyedu kopi panas, pasti nikmat sekali di tengah udara dingin kota ini. Tapi deadline laporan proyek menahan langkahku.
“ya udah, gue buatin ya” tawar fatir baik hati.
“ boleh, kopi susu ya”
Aku masih sibuk membolak balik laporan analisis yang dikerjakan tim ku, perlu energy lebih untuk menyatukan semua pisahan solusi yang tertuang di kertas A4.  Aku harus memulai dari mana?.  Tanganku meraih lembar kerja lalita.  Mata ku dengan seksama merekam rangkai kata menjadi informasi utuh yang diterima otak ku. Informasi yang mudah dicerna.  Haa, good..batinku bergumam.  Seketika ku tahu harus memulai dari mana.  Jariku sibuk mengetik di tuts Hp yang sudah sejak subuh menyala.  Konsentrasiku terpecah saat dengan tiba2 syaraf otakku malah mengirimkan pesan tentang sosok lalita, yang membuat adrenalinku sedikit bereaksi. Apa karena setelah aku tau apa yang dimiliki gadis itu sekarang menguatkan hati ku memilihnya? But she’s not my type. But how can?. Aku teringat pertama kali pak hermawan, atasanku memperkenalkan aku dengan lalita dan tim laiinya di ruang rapat. Lalita satu2nya orang luar perusahaan kami tetapi masih dari satu induk perusahaan yang sama.  Kesan pertama biasa saja. Tak terlihat malah.  Ah Rabb apa yang kau ingikan? Sunggu tak pernah ku minta untuk ada namanya diruang hatiku. Tapi dengan tiba2 Kau buat pesonanya menyapa, sedang aku tidak pernah tau apa isi catatan langit itu. Sungguh ini mengganggu Rabb. Dialog hati dengan sang Rabb ku terputus saat fatir menepuk pundak ku. plaaak
“hey, kok malah ngelamun? Katanya mau menyelesaikan deadline laporan. Nih pesananmu” fatir menyodorkan segelas kopi susu dengan asap yang masih mengepul, sigap ku sambut dan beberapa saat kemudian bibir gelas telah mendarat di bibirku, dengan nikmat aku menyedunya.
“ngelamunin apa bro, serius amat?” Tanya fatir penasaran.
“ lalita…gadis itu mengganggu fikiran ku sejak beberapa waktu belakangan ini” jawab ku mantab yang membuat fatir hamper tersedak kopinya. Spontan menatap ku lama dan bengong.
“kenapa ngeliat gue kayak gitu?” Tanya ku tak mengerti. Sejurus kemudia ku dengar tawa fatir pecah. Aku sedikit tersinggung. Aku tidak bermaksud melawak dan entah apa yang buat dia tertawa.
“ hahaha,,,dika, sumpah gue gak nyangka..lo naksir lalita?? Beneran bro? kok bisa?” tawanya menjadi Tanya serius saat fatir menangkap eksperi datarku. Kok bisa? Mana gue tau? Pertanyaan itu masih belum sempurna terjawab. Yang ku tau lalita mampu mengungkung sikap kerasku menjadi lebih lembut, mengubah egoisku untuk lebih mengalah dan mendengarkan orang lain, mengganti cuek ku dengan sikap perhatian.
“ gue hanya gak habis piker aja, soalnya gue tau lalita bukan tipe lu.  bagaimana bisa gadis berkurudung dengan penampilan sederhana itu bisa menarik perhatian lu. hati lu yang selama ini lu tutup rapat2 dari gadis mana pun. Hmm tapi apapun bro, klu elu emang serius sama dia, lamar segera. Gue bisa bantu lu.” ini yang ku suka dari fatir, cowok blasteran sunda sumater yang selalu penuh solusi dan konkrit. Tapi masalahnya aku belum bisa menjawab mengapa aku melamar lalita dan masih bimbang dengan catatan langit. Ah, mengapa aku begitu takut di tolak lalita. Kenapa lalita harus menolakku sedang banyak gadis diluar sana yang ingin menjadi pendampingku.  Antara pertanyaan sebuah kenyataan dan perasaan sombong memang beda tipis.
“ oke, besok gue temui lalita. Gue akan bilang dika permana ketua tim kita yang juga wakil direktur perusahaan ini ingin melamarnya.” Tegas fatir yang menyela lamunku. Aku gelagapan.
“eh jangan dulu, terlalu cepat fatir” protes ku.
Fatir berontak tak setuju “ kumaha atuh kang cepet ha. Udah saatnya elu menikah. Syarat agama untuk menikah mah ke elu jatuhnya udah wajib. Yaudah istikharah dulu deh. Tak tunggu jawaban pasti tu. Eh, gue balik ke ruangan yak, masih banyak kerjaan. Jangan galau terus bro. semga diberi petunjuk terbaik” tanpa menunggu respon ku fatir langsung ngeloyor pergi.  Aku mendengar helaan nafasku sendiri begitu berat. Jika memang lalita, mudahkanlah jalannya ya Rabb…
***
Titik air itu masih betah saja jatuh dari langit, dan mendungpun masih setia menemaninya, walau sebentar lagi pasti akan ada angin yang datang menggiring mereka ketempat lain, memberikan kesempatan matahari menemani bumi.  Jam dinding masih berdetak dengan ritme yang sama. Tanggal kalender pun berlalu satu persatu menggantikan waktu dan kisah setiap detiknya.  Tapi sayang bukan kisah penantianku.  Semuanya masih sama, tanpa jawab sejak aku menyampaikan niat baikku untuk melamar lalita beberapa bulan lalu melalui perantara sahabat baikku, fatir yang sudah menikah 2 tahun lebih dulu dibanding aku.  Fatir dan istrinya menemui lalita sesaat setelah aku menyampaikan kemantapan hati.  hari ini aku menanti ujung lidah lalita berbicara melalui fatir.  Burung pelatuk begitu ramai bertengger di dada ku, menciptakan debar yang cukup kencang dan sesaat ku rasa langsung lenyap ketika mendengar ucapan fatir.
“ jawabnya belum siap dik.  Dia tidak menyentuh sama sekali surat mu.  Dan dia juga tidak bertanya siapa?.  Aku tidak sempat menjelaskan kalau itu adalah kamu, Karena lalita bilang kalau dia saat ini belum siap untuk menikah.  tapi aku yakin dia tahu pasti namamu yang terpesan disana dik.  tapi bukan hanya kamu ternyata yang mencoba meminangnya.  Sudah beberapa lelaki yang datang,  tapi dia tak menyatakan apapun. Hanya mengatakan saya belum siap dan saya masih banyak kekurangan. Saya tidak ingin menyakiti siapapun, dan tidak ingin memberikan harapan apapun dalam bentuk apapun. Jadi maaf mas fatir dan mba rifa, saya hanya bisa mengatakan sebatas pernyataan itu.”  Pernyataan fatir membuat aku diam membeku. Lama. Setelah kemudia ku mendengar suara ku sendiri, parau, bertanya ke fatir
“jadi kapan lalita siap? Apakah dia sudah punya calon suami?” jawabku hanya di tanggapi dengan gelengan kepala.
“ aku melihat lalita itu gadis istimewa yang tak pernah tersentuh benar2 tersentuh kaum adam. Dia begitu menjaga. Masalah calon suami, sepertinya belum ada. Tapi elu pasti taulah si silencer  itu begitu misterius.”

Ah lalita, apakah namamu di catatan langit itu yang menyatakan kau adalah tertakdir sebagai pendampingku? Ingin sekali ku kirim tanya bersama percikan kilat sore ni ke malaikat langit agar segera mengirim kabar bersama guntur yang secepat mampir di ruang bumi, bahwa memang nama mu lah yang ada tertakdir untukku, sehingga penantianku tenang walau tak berjawab saat ini dari lisanmu. Tapi ternyata titipan itu tidak sampai kelangit. Entah tercecer dimana. Guntur hanya mengirimkan hujan bersama dingin yang menambah titik beku penantianku dengan sisa tanya yang tak terjawab. Hanya ada pasrah dan penyerahan hati seutuhnya kepada pemilik catatan langit…

*** Bogor 2014, di Bulan Merah Jambu