Selasa, 31 Oktober 2017

KOMUNIKASI PRODUKTIF#1 KOMUNIKASI DENGAN DIRI SENDIRI

M A T E R I K E L A S B U N D A S A Y A N G S E S I # 1
I N S T I T U T I B U P R O F E S I O N A L
“Selisih paham sering kali muncul bukan karena isi percakapan melainkan dari cara penyampaiannya. Maka di tahap awal ini penting bagi kita untuk belajar cara berkomunikasi yang produktif, agar tidak mengganggu hal penting yang ingin kita sampaikan, baik kepada diri sendiri, kepada pasangan hidup kita dan anak-anak kita”

#1 KOMUNIKASI DENGAN DIRI SENDIRI
Tantangan terbesar dalam komunikasi adalah mengubah pola komunikasi diri kita sendiri. Karena mungkin selama ini kita tidak menyadarinya bahwa komunikasi diri kita termasuk ranah komunikasi yang tidak produktif. Kita mulai dari pemilihan kata yang kita gunakan sehari-hari.

KOSAKATA KITA ADALAH OUTPUT DARI
STRUKTUR BERPIKIR DAN CARA KITA
BERPIKIR
Ketika kita selalu berpikir positif maka kata-kata
yang keluar dari mulut kita juga kata-kata positif,
demikian juga sebaliknya

KATA-KATA ANDA ITU MEMBAWA
ENERGI, MAKA PILIHLAH KATA-KATA
ANDA
Kata 'Masalah" gantilah dengan 'Tantangan'
Kata 'Susah' gantiah dengan 'Menarik'
Kata 'Aku tidak tahu' gantilah 'Ayo kita cari tahu'
Ketika kita bercerita 'masalah kedua ujung bibir kita turun,
bahu tertunduk maka kita akan merasa semakin berat dan
tidak bisa melihat solusi
Tapi jika kita mengubah dengan 'TANTANGAN' kedua
ujung bibir kita tertarik, bahu tegap maka nalar akan bekerja
mencari solusi

PEMILIHAN DIKSI (KOSA KATA) ADALAH
PENCERMINAN DIRI KITA YANG
SESUNGGUHNYA
Pemilihan kata akan memberikan efek yang berbeda
terhadap kinerja otak. Maka kita perlu berhati-hati dalam
memilih kata supaya hidup lebih berenergi dan lebih
bermakna. Jika diri kita masih sering berpikiran negatif, maka
kemungkinan diksi (pilihan kata) kita juga kata-kata
negatif, demikian juga sebaliknya

Senin, 30 Oktober 2017

Disiplin Tanpa Bentakan




oleh  Sri Susanti Tjahjadini, M. Pd

Banyak orang tua yang berkata keras dan berlaku kasar pada anak, dengan dalih mengajarkan anak untuk disiplin. Membentak, memarahi, mencubit, atau memukul untuk 'kesalahan' anak yang secara syariat tidak dibenarkan untuk diperlakukan demikian. Makanya tidak heran, menurut data dari KPAI, sebagian besar kasus kekerasan pada anak justru dilakukan oleh keluarga dekat. Orang tua nggak sadar kalau tindakan yang dianggap mendisiplinkan itu sebenarnya termasuk kekerasan pada anak. Baik secara vebal maupun tindakan. Ada kasus di sebuah sekolah di malang. Anak laki-laki yang memukul temannya sampai 2 gigi lepas dan mulut temannya sobek. Ketika ditanya bagaimana caranya memukul sampai seperti itu, jawab si anak, "Aku memukul, sekeras ayah memukul aku." Ketika dikonfirmasi ke ibunya, si ayah memang sering sekali 'main tangan' pada anaknya. Jika anak dianggap bandel, nggak menurut, berbuat kesalahan, maka tanganlah yang berbicara. Akhirnya, yang terekam pada otak anak tersebut adalah, kekerasan bisa menyelesaikan masalah.
Ada lagi cerita nyata, di SMP Negeri, Malang. Seorang murid laki-laki (sebut saja A) melakukan 'penembakan'. Semacam katakan cinta. Pada temannya (sebut B), yang juga laki-laki. Cara 'nembak'nya, si A bilang, "eh, mau nggak kamu mandi bareng aku? Ntar aku kasih uang 300ribu." Setelah digali lagi, ternyata dia punya daftar tarif, selain 300ribu untuk mandi bareng, ada yang 500ribu untuk tidur bareng, dan 100ribu untuk pegang-pegang aja. Untungnya, si B melapor pada guru sehingga bisa dilakukan pendalaman. Ketahuan lah kalau A ini menjadi simpanan om-om senang, biasa dipanggil untuk memuaskan nafsu bejat orang dengan mendapat upah. Kemudian dia ingin membayar temannya untuk melakukan hal yang sama, karena ingin dipuaskan juga seperti klien-kliennya itu. Dipanggillah orang tua si A, ibunya yang datang. Kata si ibu, "Jangan sampai bapaknya tau. Nanti anak saya bisa digebukin." Lagi-lagi, anak dari keluarga yang biasa berbicara dengan bahasa pukulan. Anak yang nggak merasa aman dan nyaman di dalam rumah, lalu mencari kenyamanan di luar. Yang justru malah menjerumuskannya.
Kasus ketiga. Seorang remaja perempuan yang sudah seminggu kabur dari rumah. Awalnya, si anak ini pergi sama teman-temannya, dan janji pada ibunya akan pulang jam 9 malam. Ternyata janjinya meleset. Sampai rumah sudah jam 10 malam, diantar teman-temannya. Si ibu marah besar. Di depan teman-teman anaknya, beliau marah dan memotong habis rambut
anaknya. Sejak itu pergi dari rumah. Harga dirinya terlukai. Nggak ditanya alasan keterlambatannya, nggak didengar penjelasannya, dimarahi dan dihukum di depan teman-temannya. Ditambah lagi, hukuman potong rambut itu nggak disepakati sebelumnya. Muncul karena spontanitas si ibu yang marah membabi buta tanpa mau mendengar anaknya. Mungkin tubuhnya nggak luka, rambutnya bisa tumbuh lagi, tapi harga diri dan rasa hormatnya pada sosok ibu, jelas telah hancur.
Apa benang merah dari ketiga kasus ini? Kekerasan anak oleh orang tua. Verbal dan non verbal. Orang tua sering sekali menyalahkan lingkungan atas perilaku anaknya yang dianggap melanggar norma. Padahal, penyebabnya justru orang tuanya sendiri. Mendidik anak itu wajib, melatih anak untuk berdisiplin itu harus. Tapi yang utama dilakukan terlebih dahulu adalah punya ilmu, supaya nggak salah langkah.  Jika kita mengingat kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk mengurbankan Ismail. Yang dilakukan nabi Ibrahim pertama kali adalah dialog, Menyampaikan pada Ismail pada beliau diperintahkan Allah demikian, dan menanyakan bagaimana pendapat Ismail. Itulah luar biasanya nabi Ibrahim, untuk melaksanakan perintah yang turun langsung dari Allah saja, beliau masih menanyakan pendapat anaknya. Maka, mestinya kita juga mencontoh sikap nabi Ibrahim. Apalagi pada
anak yang sudah baligh, saatnya diperlakukan sebagai menteri. Tanyakan pendapatnya, cari tau alasannya, hargai masukannya. Jika di dalam keluarga nggak terbiasa berdiskusi, komunikasi hanya berupa instruksi atau perintah top down, dimana anak selalu berada di posisi bawah. Jangan heran jika suatu saat anak akan mencari 'rumah' lain yang lebih nyaman. Jangan lupa, bagi anak yang kondisi pengasuhannya jauh dari ideal, indikator nyaman adalah bebas dari
aturan. Anak-anak labil yang mencari kenyamanan di luar rumah ini menjadi mangsa bagi perusak-perusak moral generasi muda : industry pornografi, narkoba dan sebagainya.

Ngeri ya? Banget. Tapi nggak cukup kita hanya mengutuk atau meratap. Lakukan sesuatu. Minimal, dari lingkungan kita sendiri. Paling sedikit, pada anak-anak kita sendiri. Semua pasti ingin punya anak yang mandiri, punya kesadaran untuk bertanggung jawab minimal pada dirinya sendiri. Nggak bisa lho, itu tercapai dengan membentak, mencubit, atau memukul anak. Anak yang mengalami kekerasan mungkin kelihatan langsung patuh. Tapi dia patuh
karena takut. Dan memori di otaknya akan menyimpan, begitu caranya menyelesaikan masalah. Yang suatu saat nanti, perlakuan yang dia alami akan diulanginya pada orang lain. Atau bisa juga muncul dalam dirinya adalah rasa rendah diri dan nggak berdaya. Anak-anak seperti ini rentan ditekan oleh orang lain dalam komunitasnya. Korban kekerasan, baik verbal dan non verbal di dalam rumah, bisa menjadi pelaku atau justru korban bullying.

Lalu, gimana caranya melatih anak disiplin?
1.      DIALOG
yang dicontohkan oleh para nabi. Dialog ya, bukan monolog. Dialog itu pembicaraan dua arah. Masing2 punya kesempatan yang sama untuk bicara dan mendengarkan. Kalau ibu-ibu kayak kita gini ngomong sama anak pake metode ceramah, kadang-kadang ada bonusnya omelan, trus si anak Cuma diam sambil bersungut-sungut. Itu namanya monolog, bukan dialog.

2.      KOMITMEN DAN KONSEKUENSI
 Tetapkan bersama anak, aturan yang ingin diterapkan. Buat kesepakatan, minta anak berkomitmen. Konsekuensi yang berlaku akibat aturan yang dilanggar juga ditetapkan
dengan sepengetahuan anak. Dan dibicarakan di awal. Kalau belum ada komitmen akan aturan dan konsekuensi yang disepakati, jangan memberi hukuman secara spontanitas. Kita aja nggak mau kan, dihukum secara tiba-tiba. Nggak ada aturan, nggak ada kesepakatan,  nggak ada peringatan, tiba-tiba langsung dihukum. Pasti langsung merasa
diperlakukan nggak adil. Sama, anak pun begitu. Lalu, tetapkan target secara bertahap, yang ditingkatkan jika target telah terpenuhi. Misalnya, dalam hal melatih anak disiplin sholat. Target pertama, anak sholat 1 waktu dulu, rutin setiap hari. Biarkan
anak pilih mau sholat apa. Kalau mau sholat maghrib, setiap hari sholat maghrib nggak boleh bolong. Kalau anak ingin sholat di waktu lain, nggak masalah. Tapi, sholat maghribnya tetap harus jalan. Kalau sudah berhasil sholat maghrib setiap hari berturut-turut selama 1 bulan, misalnya. Tambah lagi 2 waktu sholat, begitu terus sampai bisa
sholat 5 waktu. Sudah berhasil sholat 5 waktu setiap hari, tingkatkan targetnya. Sholat di awal waktu, perbaiki bacaan dan tingkatkan kekhusyukan. Kalau sudah berhasil, tambah target lagi sholat sunnah. Sholat sunnah aja udah banyak tuh, insya Allah kita nggak akan kekurangan materi untuk mengajarkan anak sholat sampai dia aqil baligh nanti.

3.      SABAR
Melatih disiplin memang bukan pekerjaan mudah. Kalau nggak perbanyak stok sabar, kita akan mudah marah. Kalau marah, target nggak akan tercapai. Karena anak nggak akan menangkap pesan, dari kata-kata yang terucap dengan amarah. Anak cuma tau, dia dimarahi. Tapi nggak ngerti alasannya. Apalagi kalau kita terlalu banyak bicara. Marah nyerocos ke sana kemari, poin yang ingin kita sampaikan malah tenggelam. Rentang konsentrasi anak bisa diasumsikan = 5 menit + usia. Anak usia 5 tahun, rentang konsentrasinya = 5 menit + 5 menit. Cuma 10 menit aja. Jadi kalau mau menegur atau memberitahu kesalahan anak, sampaikan dengan ringkas dan padat. Bicarakan di awal kalimat. To the point. Dan harus selesai sebelum waktu rentang konsentrasinya berakhir. Nggak usah ngelantur kemana-mana. Percuma, anak nggak akan dengar. Perbaiki komunikasi yang efektif dengan anak. Agar anak mau mendengar kita, kita dulu yang harus mau mendengarkan mereka dan berempati dengan apa yang mereka rasakan. Jika kita terbiasa mengabaikan pertanyaan dan ungkapan hati anak yang bagi kita remeh. Nanti, kita yang akan diabaikan, dianggap remeh. Ingat, anak sering kali adalah copy dari orang tuanya.

4.      LURUSKAN NIAT
 mendidik anak sebagai ikhtiar untuk menjaga keluarga kita dari api neraka. Karena kekuatan bermula dari keluarga. Keluarga bisa menjadi asbabul ujur (peluang dan sarana mendapatkan pahala), bisa juga menjadi asbabul a'tsam (peluang dan sarana menerima dosa). Semoga anak-anak kita termasuk dalam orang yang mengalirkan pahala jariyah bagi orang tuanya, dan bukannya dosa jariyah. Aamiin... Allahumma amiin...

sumber : Grup WA [10:33 09/12/2016] +62 812-1898-5542

Anak Penyebab 5 Keburukan Bagi Orangtua






Oleh: Ustadz Budi Ashari

Saat anak disebut sebagai cobaan hidup dalam Al Quran (Al Anfal: 28 dan At Taghabun: 15), maka para orangtua harus berhati-hati. Layaknya sebuah cobaan, seringkali menjerumuskan jika tidak lulus dari ujian tersebut. Potensi keburukan yang disebabkan oleh ujian tersebut harus diketahui sehingga bisa dijaga sedini mungkin oleh para orangtua, agar lulus dengan sempurna dari ujian anak.  Keasyikan orangtua menikmati keindahan anak. Kesibukan orangtua mengurus anak. Waktu dan kemampuan yang tersita untuk memakmurkan anak dan sebagainya menjadi masalah yang berakhir buruk bagi kehidupan orangtua jika tidak mengerti.

Ada 5 potensi keburukan dari keberadaan anak bagi orangtua yang tidak lulus dalam mendidik mereka menjadi anak yang baik dan menyejukkan mata. Berikut ini ke 5 potensi buruk itu:

1. Menjauhkan dari Dzikir kepada Allah

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Qs Al Munafiqun: 9)

Dzikir adalah kewajiban seorang hidup di dunia. Mengingat Allah dalam keadaan apapun. Sedang dalam aktifitas apapun. Dan dengan berbagai cara; lisan, hati dan bukti perbuatan yang sesuai dengan keridhoan Nya. Dzikir adalah bukti orangtua telah menjadi seorang hamba Allah yang baik.  Anak berpotensi menjadi penjauh dan penghalang orangtua dari dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga para orangtua harus menyeimbangkan dirinya antara menjaga amanah anak tersebut dengan kepentingan dirinya untuk menjadi hamba Allah yang baik.


2. Menyebabkan Munculnya Sifat Pelit

Rasulullah bersabda:

إن الولد مبخلة مجبنة مجهلة محزنة

“Sesungguhnya anak menjadi penyebab sifat pelit, pengecut, bodoh dan sedih.” (HR. Hakim dan Thabrani, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ hadits no. 1990)

Pelit pada akhirnya berhubungan dengan harta. Orangtua yang merasa terbebani dengan amanah anak yang memerlukan biaya besar dalam mendidik mereka, berubah menjadi orangtua yang pelit. Padahal pada harta kita tidak hanya ada hak anak. Tetapi ada banyak orang lain yang berhak terhadap harta kita. Ini artinya, para orangtua harus tetap menjaga sifat dermawan walaupun tugas membesarkan anak-anak memerlukan biaya yang tidak kecil

3. Penyebab Munculnya Sifat Pengecut

Dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah menyebutkan bahwa anak bisa menyebabkan tumbuhnya sifat pengecut dalam hati orangtua. Kecintaan orangtua terhadap anak. Rasa takut kehilangan mereka. Tidak mau berpisah jauh dari mereka. Semua ini bisa membuat orangtua mendadak menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kehidupan ini. Rasa takut begitu dominan. Takut mati tiba-tiba hadir. Tidak berani bertindak tegas dalam hidupnya dengan alasan keberadaan anak-anak.  Maka, para orangtua harus tetap memiliki sifat berani dalam mengarungi dan memutuskan langkah dalam hidup ini. Ada saat harus bahagia bersama mereka. Ada saat harus berpisah jauh dari mereka. Ada saat mereka bisa dipenuhi kebutuhannya. Ada saat keputusan harus diambil dalam hidup orangtua walau berisiko kehidupan anak-anak harus lebih prihatin Bersandar kepada Allah yang Maha Pemberi dan keyakinan bahwa apa saja yang dititipkan kepada Allah tak akan pernah rusak dan hilang, akan membuat orangtua tidak kehilangan keberaniannya dalam mengarungi tugas hidup di dunia.

4. Penyebab Kebodohan

Hadits Nabi di atas menyebutkan bahwa anak juga bisa menyebabkan kebodohan bagi orangtuanya. Kebodohan berhubungan dengan ilmu. Orangtua yang terlalu sibuk mengurusi anaknya, memperhatikan mereka, sering menjadikan anak sebagai alasan dari ketidak berilmuan dirinya. Kesempatan belajar memang jadi berkurang. Minat belajar juga mulai pupus, seiring kelelahan fisik yang mendera karena kesibukan bersama anak-anak dan untuk mereka.  Tetapi kebodohan tidak boleh terjadi pada kehidupan orangtua. Apalagi ilmu adalah modal untuk mendidik mereka. Bagaimana diharapkan keberhasilan pendidikan anak, jika orangtuanya menghapus ilmu baik mereka dengan tindakan dan lisan orangtua tanpa disadari.
Semuanya berawal dari kosongnya kepala orangtua dari ilmu. Sehingga, anak tidak boleh menjadi alasan orangtua hilang kesempatan menuntut ilmu. Orangtua harus tetap mempunyai waktu dan tenaga untuk belajar dan terus belajar.

5. Penyebab Kesedihan


Di akhir hadits disebutkan bahwa anak bisa menyebabkan kesedihan bagi orangtua. Banyak faktornya. Anak sakit umpamanya, bisa jadi hanya sakit panas biasa. Tetapi orangtua bisa sangat panik karenanya. Kepanikan itu menyebabkan terhentinya banyak kebaikan. Atau kesedihan yang disebabkan oleh ulah anak di rumah atau di luar rumah. Kesedihan sering bermunculan disebabkan oleh anak.  Maka ini peringatan dari Nabi, agar para orangtua menjaga kestabilan jiwanya. Kesedihan adalah hal yang manusiawi. Tetapi kesedihan tidak boleh terus menerus meliputi seluruh kehidupan kita bersama anak-anak. Juga, kesedihan tidak boleh menghentikan potensi kebaikan dan amal shaleh para orangtua.

Ya Allah...
Jadikanlah anak-anak kami kebaikan bagi kami.