Rabu, 26 Juni 2013

Ciri Dewasa

Ciri khas dewasa diawali dengan Diam Aktif yaitu kemampuan untuk menahan diri dalam berkomentar. Orang yang memiliki kedewasaan dapat dilihat dari sikap dan kemampuannya dalam mengendalikan lisannya, tidak seperi seorang anak kecil, apa yang dia lihat biasanya selalu dikomentari.

Orang tua yang kurang dewasa mulutnya sangat sering berbunyi, semua hal dikomentari.,ketika dia melihat sesuatu langsung dipastikan akan dikomentari,ketika menonton televisi misalnya ; komentar dia akan mengalahkan suara dari televisi yang dia tonton . Penonton tv yang dewasa itu senantiasa bertafakur, acara yang dia tonton senantiasa direnungkan (tentunya acara yang bermanfaat) dan memohon dibukakan pintu hikmah kepada Allah, Subhanalloh.

Ketika menyaksikan demonstrasi dia bertafakur.. \"beginilah kalau negara belum matang, setiap waktu demo,kata-kata yang dikeluarkan jauh dari kearifan\"\"ternyata sangat mudah menghina, mencaci, dan memaki itu\" Seseorang yang pribadinya matang dan dewasa bisa dilihat dari komentar-komentarnya,makin terkendali Insya Allah akan semakin matang.

Ciri kedewasaan selanjutnya dapat dilihat dari Empati. Anak-anak biasanya belum dapat meraba perasaan orang lain, orang yang bertambah umurnya tetapi tidak dapat meraba perasaan orang lain berarti belum dapat disebut dewasa. Kedewasan seseorang dapat dilihat dari keberanian melihat dan meraba perasaan orang lain. Seorang ibu yang dewasa dan bijaksana dapat dilihat dari sikap terhadap pembantunya yaitu tidak semena-mena menyuruh, walaupun sudah merasa menggajinya tetapi bukan berarti berkuasa,bukankah di kantor ketika lembur pasti ingin dibayar overtime ? tetapi pembantu lembur tidak ada overtime ? semakin orang hanya mementingkan perasaannya saja maka akan semakin tidak bijaksana. Semakin orang bisa meraba penderitaan orang lain Insya Allah akan semakin bijak. Percayalah tidak akan bijaksana orang yang hidupnya hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Orang yang dewasa, cirinya hati-hati (Wara’),dalam bertindak. Orang yang dewasa benar-benar berhitung tidak hanya dari benda, tapi dari waktu ; tiap detik,tiap tutur kata , dia tidak mau jika harus menanggung karena salah dalam mengambil sikap. Anak-anak atau remaja biasanya sangat tidak hati-hati dalam bercakap dan mengambil keputusan.Orang yang bersikap atau memiliki kepribadian dewasa (wara’) dapat dilihat dalam kehati-hatian memilih kata, mengambil keputusan,mengambil sikap, karena orang yang tidak dewasa cenderung untuk bersikap ceroboh.

Orang yang dewasa terlihat dalam kesabarannya (sabar), kita ambil contoh ; didalam rumah seorang ibu mempunyai 3 orang anak, yang satu menangis, kemudian yang lainnya pun ikut menangis sehingga lama-kelamaan menjadi empat orang yang menangis , mengapa ? karena ternyata ibunya menangis pula. Ciri orang yang dewasa adalah sabar, dalam situasi sesulit apapun lebih tenang, mantap dan stabil.

Seseorang yang dewasa benar-benar mempunyai sikap yang amanah, memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab.  Untuk melihat kedewasaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya bertanggungjawab, sebagai contoh ; seorang ayah dapat dinilai bertanggung jawab atau tidak yaitu dalam cara mencari nafkah
yang halal dan mendidik anak istrinya ? Bukan masalah kehidupan dunia ,yang menjadi masalah mampu tidak mempertanggungjawabkan anak-anak ketika pulang ke akherat nanti ? Ke surga atau neraka? Oleh karena itu orang tua harus bekerja keras untuk menjadi jalan kesuksesan anak-anaknya di dunia dan akherat.

Pernah ada seorang teman menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, ketika ditanya tentang sholatnya ? ternyata tidak berjalan dengan baik karena orang-orangnya tidak ada yang sholat sehingga melakukannya pun kadang-kadang, apalagi untuk shalat Jumat jarang dilaksanakan, dengan alasan masjidnya jauh.

Lalu kenapa disekolahkan di Luar Negeri ? alasannya adalah sebentar lagi globalisasi., ketika perdagangan bebas anak harus disiapkan. Tetapi bagaimana jika sebelum perdagangan bebas anaknya meninggal dunia ? sudah disiapkan belum pulang ke akherat? orang yang dewasa akan berpikir keras bagaimana anak-anaknya bisa selamat? Jangan sampai di dunia berprestasi tapi di akherat celaka.

Saudaraku tidak cukup merasa bangga dengan menjadi tua, mempunyai kedudukan,jabatan,karena semua itu sebenarnya hanyalah topeng, bukan tanda prestasi. Prestasi itu adalah ketika kita  semakin matang, dan semakin dewasa .

Kesuksesan kita adalah bagaimana kita bisa memompa diri kita dan menyukseskan orang-orang disekitar kita, kalau ingin tahu kesuksesan kita coba lihat perkembangan keluarga kita, istri dan anak-anak kita maju tidak? lihat sanak saudara kita pada maju tidak? Jangan sampai kita sendirian yang maju, tapi sanak saudara kita hidup dalam kesulitan, ekonominya seret, pendidikan seret.,sedang kita tidak ada kepedulian. Berarti itu sebuah kegagalan.,kedewasaan seseorang itu dilihat dari bagaimana kemampuan memegang amanah ? Wallahu’alam (and/mikha)[manajemenqolbu.com]**

perlintasan

Apa rasanya menjadi perlintasan?
bahagiakah engkau selayak pelangi yang menghibur penduduk bumi? yang meski sekejap, tapi sulur tujuh rupanya sempurna mengundang simpul senyum dari balik beranda maupun daun jendela.

Adakah bahagia menikmati perlintasan??
jika memang membawa kebaikan, seperti terminal yang merekam segala aktivitas pertemuan dan perpisahan, tawa dan air mata serta segala kenyamanan penumpang saat berkendara. maka ia akan memahat banyak jejak kebaikan di hati kita.

hidup memang sebentar saja. lalu apa yang ingin kau tinggalkan untuknya? jika sesisa pelangi masih terus mengabadi di hati penduduk bumi, apa yang telah kau buat demi kehidupan nanti?

"aku, kamu, hanya perlintasan, Squad. sejenak mencicipi indah negeri ini dan segera pulang ke kampung akhirat nan abadi. sudah siapkah?"

By: Evan P. Ramdan  
Bogor, Juni 2013

Selasa, 25 Juni 2013

Kisah Penghafal Qur'an (3)

Yang Cepat Menghafal
 
Setiap penghafal al-Qur'an mempunyai kenangan manis tersendiri ketika ia bisa mengkhatamkan hafalannya. Ada yang khatam dalam waktu cepat, lambat dan juga normal. Tapi jangan sampai Anda seperti kebanyakan orang, menghafal lalu.....meninggalkan hafalan itu..Laa haulaa walaa quwwata illah billah. Semoga saja tidah yach, Amiin
Untuk menyemangati kita agar lebih semangat untuk menghafal dan menjadi pelajaran goresan sejarah manis ini, berikut beberapa kisah penghafal yang hafal dalam waktu singkat:

1. Abu Wail.
Siapa dia? Ia adalah saudara kandung dari Ibnu Salamah, seorang Imam besar gurunya penduduk Kufah. Ia sezaman dengan nabi shallallahu alaihi wasallam. Tapi belum sempat melihat wajah Rasulullah Saw. Belajar al-Qur'an hanya dalam waktu 2 bulan saja.
2. Pemuda yan hafal al-Qur'an di bulan Ramadhan.
Loh, gimana caranya??! Konon, pemuda ini selalu membiasakan diri menjadi imam shalat tarawih yang membiasakan khatam dalam waktu sebulan selama Ramadhan. Setiap harinya ia harus hafal 1 juz al-Qur'an -mengingat perannya sebagai Imam tarawih- kemudian membacanya dalam shalat tarawih sampai ia hafal seluruhnya, Subhanallah
3. Seorang penghafal meriwayatkan bahwa ada beberapa pemuda yang hafal al-Qur'an 30 juz hanya ketika menghabiskan liburan musim semi saja.
4. Seorang mahasiswa Turki, kuliah di sebuah kampus dan mampu menghafal al-Qur'an 30 juz dalam waktu 70 hari.
Mereka yang kita sebutkan di atas dengan singkat, adalah fenomena di sekitar kita. Mereka juga manusia seperti kita. Akan tetapi perbedaan antara kita dengan mereka adalah sebuah anlogi agar tidak membuat kita menjadi down (patah semangat) ketika membaca kisah-kisah keteladanan di atas.
Diceritakan pula tentang beberapa pemuda yang hendak menghafal al-Qur'an. Dan ini membuat mereka gembira dan senang hatinya. Yaitu di antara mereka ada yang hafal al-Qur'an dalam waktu 4 tahun, 5 tahun, 7 tahun. Bahkan sampai ada yang memakan waktu 9 tahun lamanya. Ia selalu bersungguh-sungguh terhadap dirinya sendiri sampai bisa mewujudkan impiannya itu. Tidak perlu ada pertanyaan, "Sudah berapa juz kamu hafal al-Qur'an?". Tapi yang terpenting adalah bahwa Anda masih menghafal dan terus menghafal. Meski pertanyaan di atas perlu juga untuk mengingatkan dan memacu semangat menghafal.
Wallahu A'lam.

Kisah Penghafal Qur'an (1)

Catatan Perjalanan Penghafal Qur’an

Sungguh, kita tidak tahu dari mana asal datangnya rahmat dan barakah Allah. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir bisa menghafal Al Quran sampai sekarang. Dulu niat saya setelah lulus kuliah adalah bisa menjaga hafalan saya yang hanya sekitar tiga juz, atau kalaupun bertambah mungkin hingga sekitar lima atau sepuluh juz. Bayangan semacam itu sudah terasa begitu istimewa bagi saya. Tapi, perjalanan waktu mengantarkan pada sesuatu yang lebih baik daripada yang pernah saya perkirakan. Bisa jadi, ini adalah salah satu bentuk barakah Allah.

Sebelumnya, ada beberapa teman yang memandang aneh, “Habis dari Jepang kok malah masuk pondok pesantren?” Namun celetukan itu yang kemudian membuat saya berpikir, mungkin justru karena dari Jepanglah pikiran saya lebih terbuka untuk berinteraksi lebih dekat dengan Al Quran. Ternyata berat untuk istiqomah di negeri asing, bagaimana bertahan untuk tetap menjalankan ibadah seperti di tanah air dengan memberikan penjelasan yang tepat untuk orang asing, bagaimana menjaga perut kita dari segala makanan dan minuman yang syubhat, bagaimana menjaga semangat beribadah di tengah sepinya kajian-kajian keislaman. Sungguh, itu tidak mudah. Untuk menjaga iman, di sanalah saya mulai konsisten tilawah satu juz perhari. Dan ternyata efeknya memang luar biasa.

Selanjutnya saya juga mendapat kesempatan untuk mengajar muslimah-muslimah mualaf Jepang membaca Al Quran. Tidak akan terlupakan bagaimana heroiknya pengalaman mengejar-ngejar jadwal kereta Jepang, menempuh jalan mendaki dan panjang menuju masjid di luar Tokyo, serta merasakan ukhuwah islamiyah di sana.  Subhanallah, terharu dengan semangat mereka belajar Al Quran meski dengan lidah mereka yang tidak biasa untuk mengucap huruf-huruf Al Quran. Pengalaman mengajar itu membuat saya sadar bahwa ilmu membaca Quran saya masih belum mencukupi untuk memberikan pemahaman yang benar, bagaimana hukum-hukum tajwid, makharijul huruf, ataupun tentang metode pengajaran yang cocok. Sehingga setelah pulang ke Indonesia saya kembali masuk ke halaqoh-halaqoh Quran untuk belajar lebih dalam. Menjelang lulus, saya berencana untuk pulang sambil ikut halaqoh Quran dekat rumah. Namun, Allah berencana lain, sebuah tawaran untuk menghafal Al Quran di Jakarta ternyata didukung penuh oleh ibu saya. Maka berangkatlah saya ke Jakarta setahun yang lalu, menemukan berbagai suka duka dan Alhamdulillah Allah masih memberikan kekuatan untuk bertahan hingga sampai saat ini. Ustadz dan teman-teman selalu memberikan motivasi untuk terus menghafal Quran hingga selesai 30 juz.

Berinteraksi dengan para penghafal Quran memberikan warna baru dalam hidup saya. Saya semakin menyadari bahwa Al Quran sungguh-sungguh mukjizat dari Allah, kumpulan kalam-kalamNya yang mulia, terkandung banyak pelajaran, kisah, dan hikmah yang bisa diambil oleh siapapun yang mau berpikir. Mempelajari, membaca, dan menghafal Al Quran ternyata tidak sampai berakhir di mulut dan tenggorokan saja ketika melantunkannya. Menghafal Al Quran itu seperti proses memasukkan kalam-kalam itu dalam dada, sehingga kelak dapat menjiwai dan mengamalkan apa yang Allah perintahkan lewat tuntunan wahyuNya. Sering muncul ketakutan bahwa saya menghafal Quran namun belum mempraktekkannya, maka saya sering berharap agar Allah merahmati kami dengan Al Quran, agar apa yang dihafal benar-benar mampu memberi kekuatan ruhiyah di hari-hari ke depan, ketika sudah tidak tinggal di pesantren, atau ketika tuntutan dakwah semakin besar. Bahkan yang lebih penting, agar Al Quran dapat memberikan syafaat pada diri kita dan orang tua kita di hari tidak ada pertolongan nanti.
Saya sering berpikir bahwa ketika memutuskan untuk menghafal Al Quran, berarti telah terikat kontrak seumur hidup, untuk terus berinteraksi dengan Al Quran. Sungguh, apa yang telah dihafal itu terasa mudah hilang. Harus diikat dengan ikatan yang kuat, dibaca berulang kali, ditadabburi artinya lagi, ditilawahkan, dan terus diulang sepanjang hayat agar tidak hilang. Tidak terbatas hanya pada saat kita masih tinggal di pesantren, atau ketika terikat dengan halaqoh Quran. Maka di masa-masa inilah saat untuk memperkuat tekad, agar kelak di manapun kita berada kita tidak putus berinteraksi dengan Al Quran. InsyaAllah.

Kalau saya merasa sedih karena tidak bisa menghafal sebaik teman-teman yang lain, saya pikir mungkin ini cara Allah untuk membuat saya lebih banyak mengulangnya, agar lebih dekat dengan Al Quran. Guru saya dulu juga sering mengingatkan bahwa sebagai seorang penghafal Quran harus lebih berhati-hati dengan segala yang diharamkan, menjaga kehalalan makanan yang masuk dalam tubuh, termasuk menjaga pandangan dan pendengaran. Karena bisa jadi ketidakhalalan itu yang membuat kita menjadi susah menghafal.

Semakin lama menyelami Al Quran, semakin banyak kita mengenal sifat-sifat Allah, petunjuk-petunjuk untuk meraih surgaNya, serta kisah-kisah yang dapat diambil pelajarannya. Untuk segala ketakutan menghadapi tantangan hidup, ada harapan bahwa interaksi kita dengan Al Quran saat ini yang akan menjadi sebab turunnya rahmat dan barakah Allah, yang akan memudahkan segala urusan hidup kita, yang akan jadi bekal untuk berbuat lebih banyak kemanfaatan. Dan saya masih terkesan dengan kata-kata seorang teman, “Kalau kita mau meluangkan hidup untuk mengurusi Al Quran, maka Allah yang akan mengurusi urusan kita.” Maka apa yang perlu diresahkan lagi, kalau segala urusan telah kita jaminkan pada Allah?
Semoga Allah selalu merahmati kita dengan Al Quran, saat ini dan selamanya. Amiin.

sumber: http://daarunnuroin.blogspot.com/2012/07/catatan-perjalanan-seorang-penghafal-al.html

Kisah Penghafal Qur'an (2)

Yazeed Tamamuddin (7 tahun) bukan satu-satunya hafizh cilik dalam keluarganya. Kakaknya, Tabarak (9 tahun), dan adiknya Zeenah (5 tahun) juga meraih gelar hafizh pada usia balita. Mengetahui kehebatan tersebut, timbul sebuah pertanyaan.  Apakah mereka masih punya waktu bermain seperti anak-anak lainnya?
“Anda seharusnya bertanya, ke mana saja kami berkunjung di negara Anda ini,” jawab Dr. Kamil Labudi, ayah Yazeed sambil tersenyum lebar. “Kami ke taman safari, kebun binatang, dan tempat-tempat bermain lainnya,” lanjut beliau, saat diwawancara Salman Media.
Jumat (08/02) siang di Front OfficeSalman ITB pemegang gelar Sarjana farmasi dan magister ekonomi ini bercerita bahwa ketiga anaknya bermain dan beraktivitas seperti anak-anak pada umumnya.
Bedanya, tambah Kamil, anak-anaknya bermain dan bergembira dengan filosofi yang berbeda dengan anak-anak lain. Banyak orangtua, tutur Kamil, yang telah menciptakan pengangguran sejak dini. “Mereka memberikan apapun yang diminta anak-anak secara gratis!”, ujarnya. Sementara bagi Kamil dan Rasya, istrinya, anak-anak harus belajar memberikan sesuatu sebelum mendapatkan sesuatu pula.
Karena itu, Yazeed misalnya, harus merapikan tempat tidur, membantu ibunya, mengerjakan PR dan tentu saja menyetorkan hapalan Quran sebelum bermain atau mendapatkan hadiah dari orangtuanya. Lama-kelamaan, lanjut Kamil, Yazeed malah menyenangi semua aktivitas itu dan tidak lagi selalu menuntut imbalan.
Apakah anak-anak ini tidak cepat bosan dalam menghapalkan Alquran? “Tentu saja. Tentu saja mereka terkadang bosan. Apapun yang kita lakukan terus menerus pasti akan membuat kita bosan,” jawab Kamil. Karena itu, ketika kebosanan melanda, resepnya menurut Kamil adalah mengerjakan hal lain.
“Kadang-kadang ketika Yazeed bosan menghapal, kami membacakannya cerita-cerita yang ada di dalam Alquran. Atau, kami mengajarinya cara membaca Alquran dengan qira’at-qira’at yang berbeda,” ungkap Kamil.
Yazeed dan saudara-saudaranya telah membuktikan, anak-anak tidak harus kehilangan masa kecil mereka untuk menghapal Alquran. Justru ketika diarahkan dengan baik, masa kecil dapat menjadi masa emas dalam mempelajari Alquran.
http://salmanitb.com/2013/02/16429/

Upaya Menghidupkan Qalbu


Kalau ada satu keberuntungan bagi manusia dibanding dengan hewan, maka itu adalah bahwa manusia memiliki kesempatan untuk ma’rifat (kesanggupan mengenal Allah). Kesanggupan ini dikaruniakan Allah karena manusia memiliki akal dan yang terutama sekali hati nurani. Inilah karunia Allah yang sangat besar bagi manusia.
 Orang-orang yang hatinya benar-benar berfungsi akan berhasil mengenali dirinya dan pada akhirnya akan berhasil pula mengenali Tuhannya. Tidak ada kekayaan termahal dalam hidup ini, kecuali keberhasilan mengenali diri dan Tuhannya.
            Karenanya, siapapun yang tidak bersungguh-sungguh menghidupkan hati nuraninya, dia akan jahil, akan bodoh, baik dalam mengenal dirinya sendiri, lebih-lebih lagi dalam mengenal Allah Azza wa Jalla, Zat yang telah menyempurnakan kejadiannya dan pula mengurus tubuhnya lebih daripada apa yang bisa ia lakukan terhadap dirinya sendiri.
            Orang-orang yang sepanjang hidupnya tidak pernah mampu mengenal dirinya dengan baik, tidak akan tahu harus bagaimana menyikapi hidup ini, tidak akan tahu indahnya hidup. Demikian pun, karena tidak mengenal Tuhannya, maka hampir dapat dipastikan kalau yang dikenalnya hanyalah dunia ini saja, dan itu pun sebagian kecil belaka.
            Akibatnya, semua kalkulasi perbuatannya, tidak bisa tidak, hanya diukur oleh aksesoris keduniaan belaka. Dia menghargai orang semata-mata karena orang tersebut tinggi pangkat, jabatan, dan kedudukannya, ataupun banyak hartanya. Demikian pula dirinya sendiri merasa berharga di mata orang, itu karena ia merasa memiliki kelebihan duniawi dibandingkan dengan orang lain. Adapun dalam perkara harta, gelar, pangkat, dan kedudukan itu sendiri, ia tidak akan mempedulikan dari mana datangnya dan kemana perginya karena yang penting baginya adalah ada dan tiadanya.
            Sebagian besar orang ternyata tidak mempunyai cukup waktu dan kesungguhan untuk bisa mengenali hati nuraninya sendiri. Akibatnya, menjadi tidak sadar, apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan dunia yang serba singkat ini. Sayang sekali, hati nurani itu - berbeda dengan dunia - tidak bisa dilihat dan diraba. Kendatipun demikian, kita hendaknya sadar bahwa hatilah pusat segala kesejukan dan keindahan dalam hidup ini.
            Seorang ibu yang tengah mengandung ternyata mampu menjalani hari-harinya dengan sabar, padahal jelas secara duniawi tidak menguntungkan apapun. Yang ada malah berat melangkah, sakit, lelah, mual. Walaupun demikian, semua itu toh tidak membuat sang ibu berbuat aniaya terhadap jabang bayi yang dikandungnya.
            Datang saatnya melahirkan, apa yang bisa dirasakan seorang ibu, selain rasa sakit yang tak terperikan. Tubuh terluka, darah bersimbah, bahkan tak jarang berjuang diujung maut. Ketika jabang bayi berhasil terlahir ke dunia, subhanallaah, sang ibu malah tersenyum bahagia.
            Sang bayi yang masih merah itu pun dimomong siang malam dengan sepenuh kasih sayang. Padahal tangisnya di tengah malam buta membuat sang ibu terkurangkan jatah istirahatnya. Siang malam dengan sabar ia mengganti popok yang sebentar-sebentar basah dan sebentar-sebentar belepotan kotoran bayi. Cucian pun tambah menggunung karena tak jarang pakaian sang ibu harus sering diganti karena terkena pipis si jantung hati. Akan tetapi, Masya Allah, semua beban derita itu toh tidak membuat ia berlaku kasar atau mencampakkan sang bayi.
            Ketika tiba saatnya si buah hati belajar berjalan, ibu pun dengan seksama membimbing dan menjaganya. Hatinya selalu cemas jangan-jangan si mungil yang tampak kian hari semakin lucu itu terjatuh atau menginjak duri. Saatnya si anak harus masuk sekolah, tak kurang-kurangnya menjadi beban orang tua. Demikian pula ketika memasuki dunia remaja, mulai tampak kenakalannya, mulai sering membuat kesal orang tua. Sungguh menjadi beban batin yang tidak ringan.
            Pendek kata, sewaktu kecil menjadi beban, sudah besar pun tak kurang menyusahkan. Begitu panjang rentang waktu yang harus dijalani orang tua dalam menanggung segala beban, namun begitu sedikit balas jasa anak. Bahkan tak jarang sang anak malah membuat durhaka, menelantarkan, dan mencampakkan kedua orang tuanya begitu saja manakala tiba saatnya mereka tua renta.
            Mengapa orang tua bisa sedemikian tahan untuk terus menerus berkorban bagi anak-anaknya? Karena, keduanya mempunyai hati nurani, yang dari dalamnya terpancar kasih sayang yang tulus suci. Walaupun tidak ada imbalan langsung dari anak-anaknya, namun nurani yang memiliki kasih sayang inilah yang memuatnya tahan terhadap segala kesulitan dan penderitaan. Bahkan sesuatu yang menyengsarakan pun terasa tidak menjadi beban.
            Oleh karena itu, beruntunglah orang yang ditakdirkan memiliki kekayaan berupa harta yang banyak, akan tetapi yang harus selalu kita jaga dan rawat sesungguhnya adalah kekayaan batin kita berupa hati nurani ini. Hati nurani yang penuh cahaya kebenaran akan membuat pemiliknya merasakan indah dan lezatnya hidup ini karena selalu akan merasakan kedekatan dengan Allah Azza wa Jalla. Sebaliknya, waspadalah bila cahaya hati nurani menjadi redup. Karena, tidak bisa tidak, akan membuat pemiliknya selalu merasakan kesengsaraan lahir batin lantaran senantiasa merasa terjauhkan dari rahmat dan pertolongan-Nya.
            Allah Mahatahu akan segala lintasan hati. Dia menciptakan manusia beserta segala isinya ini dari unsur tanah; dan itu berarti senyawa dengan tubuh kita karena sama-sama terbuat dari tanah. Karenanya, untuk memenuhi kebutuhan kita tidaklah cukup dengan berdzikir, tetapi harus dipenuhi dengan aneka perangkat dan makanan, yang ternyata sumbernya dari tanah pula.
            Bila perut terasa lapar, maka kita santap aneka makanan, yang sumbernya ternyata dari tanah. Bila tubuh kedinginan, kita pun mengenakan pakaian, yang bila ditelusuri, ternyata unsur-unsurnya terbuat dari tanah. Demikian pun bila suatu ketika tubuh kita menderita sakit, maka dicarilah obat-obatan, yang juga diolah dari komponen-komponen yang berasal dari tanah pula. Pendek kata, untuk segala keperluan tubuh, kita mencarikan jawabannya dari tanah.
            Akan tetapi, qolbu ini ternyata tidak senyawa dengan unsur-unsur tanah, sehingga hanya akan terpuaskan laparnya, dahaganya, sakitnya, serta kebersihannya semata-mata dengan mengingat Allah. "Alaa bizikrillaahi tathmainul quluub." (QS. Ar Rad [13] : 28). Camkan, hatimu hanya akan menjadi tentram jikalau engkau selalu ingat kepada Allah!
            Kita akan banyak mempunyai banyak kebutuhan untuk fisik ita, tetapi kita pun memiliki kebutuhan untuk qolbu kita. Karenanya, marilah kita mengarungi dunia ini sambil memenuhi kebutuhan fisik dengan unsur duniawi, tetapi qolbu atau hati nurani kita tetap tertambat kepada Zat Pemilik dunia. Dengan kata lain, tubuh sibuk dengan urusan dunia, tetapi hati harus sibuk dengan Allah yang memiliki dunia. Inilah sebenarnya yang paling harus kita lakukan.
            Sekali kta salah dalam mengelola hati – tubuh dan hati sama-sama sibuk dengan urusan dunia – kita pun akan stress jadinya. Hari-hari pun akan senantiasa diliputi kecemasan. Kita akan takut ada yang menghalangi, takut tidak kebagian, takut terjegal, dan seterusnya. Ini semua diakibatkan oleh sibuknya seluruh jasmani dan rohani kita dngan urusan dunia semata.
Inilah sebenarnya yang sangat potensial membuat redupnya hati nurani. Kita sangat perlu meningkatkan kewaspadaan agar jangan sampai mengalami musibah semacam ini.
            Bagaimana caranya agar kita mampu senantiasa membuat hati nurani ini tetap bercahaya? Secara umum solusinya adalah sebagaimana yang diungkapkan di atas : kita harus senantiasa berjuang sekuat-kuatnya agar hati ini jangan sampai terlalaikan dari mengingat Allah. Mulailah dengan mengenali apa yang ada pada diri kita, lalu kenali apa arti hidup ini. Dan semua ini bergantung kecermatan kepada ilmu. Kemudian gigihlah untuk melatih diri mengamalkan sekecil apapun ilmu yang dimiliki dengan ikhlas. Jangan lupa untuk selalu memilih lingkungan orang yang baik, orang-orang yang shalih. Mudah-mudahan ikhtiar ini menjadi jalan bagi kita untuk dapat lebih mengenal Allah, Zat yang telah menciptakan dan mengurus kita. Dialah satu-satunya Zat Maha Pembolak-balik hati, yang sama sekali tidak sesulit bagi-Nya untuk membalikan hati yang redup dan kusam menjadi terang benderang dengan cahaya-Nya. Wallahu’alam.

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 06/TH.1/OKTOBER 2000)