Selasa, 25 Juni 2013

Kisah Penghafal Qur'an (1)

Catatan Perjalanan Penghafal Qur’an

Sungguh, kita tidak tahu dari mana asal datangnya rahmat dan barakah Allah. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir bisa menghafal Al Quran sampai sekarang. Dulu niat saya setelah lulus kuliah adalah bisa menjaga hafalan saya yang hanya sekitar tiga juz, atau kalaupun bertambah mungkin hingga sekitar lima atau sepuluh juz. Bayangan semacam itu sudah terasa begitu istimewa bagi saya. Tapi, perjalanan waktu mengantarkan pada sesuatu yang lebih baik daripada yang pernah saya perkirakan. Bisa jadi, ini adalah salah satu bentuk barakah Allah.

Sebelumnya, ada beberapa teman yang memandang aneh, “Habis dari Jepang kok malah masuk pondok pesantren?” Namun celetukan itu yang kemudian membuat saya berpikir, mungkin justru karena dari Jepanglah pikiran saya lebih terbuka untuk berinteraksi lebih dekat dengan Al Quran. Ternyata berat untuk istiqomah di negeri asing, bagaimana bertahan untuk tetap menjalankan ibadah seperti di tanah air dengan memberikan penjelasan yang tepat untuk orang asing, bagaimana menjaga perut kita dari segala makanan dan minuman yang syubhat, bagaimana menjaga semangat beribadah di tengah sepinya kajian-kajian keislaman. Sungguh, itu tidak mudah. Untuk menjaga iman, di sanalah saya mulai konsisten tilawah satu juz perhari. Dan ternyata efeknya memang luar biasa.

Selanjutnya saya juga mendapat kesempatan untuk mengajar muslimah-muslimah mualaf Jepang membaca Al Quran. Tidak akan terlupakan bagaimana heroiknya pengalaman mengejar-ngejar jadwal kereta Jepang, menempuh jalan mendaki dan panjang menuju masjid di luar Tokyo, serta merasakan ukhuwah islamiyah di sana.  Subhanallah, terharu dengan semangat mereka belajar Al Quran meski dengan lidah mereka yang tidak biasa untuk mengucap huruf-huruf Al Quran. Pengalaman mengajar itu membuat saya sadar bahwa ilmu membaca Quran saya masih belum mencukupi untuk memberikan pemahaman yang benar, bagaimana hukum-hukum tajwid, makharijul huruf, ataupun tentang metode pengajaran yang cocok. Sehingga setelah pulang ke Indonesia saya kembali masuk ke halaqoh-halaqoh Quran untuk belajar lebih dalam. Menjelang lulus, saya berencana untuk pulang sambil ikut halaqoh Quran dekat rumah. Namun, Allah berencana lain, sebuah tawaran untuk menghafal Al Quran di Jakarta ternyata didukung penuh oleh ibu saya. Maka berangkatlah saya ke Jakarta setahun yang lalu, menemukan berbagai suka duka dan Alhamdulillah Allah masih memberikan kekuatan untuk bertahan hingga sampai saat ini. Ustadz dan teman-teman selalu memberikan motivasi untuk terus menghafal Quran hingga selesai 30 juz.

Berinteraksi dengan para penghafal Quran memberikan warna baru dalam hidup saya. Saya semakin menyadari bahwa Al Quran sungguh-sungguh mukjizat dari Allah, kumpulan kalam-kalamNya yang mulia, terkandung banyak pelajaran, kisah, dan hikmah yang bisa diambil oleh siapapun yang mau berpikir. Mempelajari, membaca, dan menghafal Al Quran ternyata tidak sampai berakhir di mulut dan tenggorokan saja ketika melantunkannya. Menghafal Al Quran itu seperti proses memasukkan kalam-kalam itu dalam dada, sehingga kelak dapat menjiwai dan mengamalkan apa yang Allah perintahkan lewat tuntunan wahyuNya. Sering muncul ketakutan bahwa saya menghafal Quran namun belum mempraktekkannya, maka saya sering berharap agar Allah merahmati kami dengan Al Quran, agar apa yang dihafal benar-benar mampu memberi kekuatan ruhiyah di hari-hari ke depan, ketika sudah tidak tinggal di pesantren, atau ketika tuntutan dakwah semakin besar. Bahkan yang lebih penting, agar Al Quran dapat memberikan syafaat pada diri kita dan orang tua kita di hari tidak ada pertolongan nanti.
Saya sering berpikir bahwa ketika memutuskan untuk menghafal Al Quran, berarti telah terikat kontrak seumur hidup, untuk terus berinteraksi dengan Al Quran. Sungguh, apa yang telah dihafal itu terasa mudah hilang. Harus diikat dengan ikatan yang kuat, dibaca berulang kali, ditadabburi artinya lagi, ditilawahkan, dan terus diulang sepanjang hayat agar tidak hilang. Tidak terbatas hanya pada saat kita masih tinggal di pesantren, atau ketika terikat dengan halaqoh Quran. Maka di masa-masa inilah saat untuk memperkuat tekad, agar kelak di manapun kita berada kita tidak putus berinteraksi dengan Al Quran. InsyaAllah.

Kalau saya merasa sedih karena tidak bisa menghafal sebaik teman-teman yang lain, saya pikir mungkin ini cara Allah untuk membuat saya lebih banyak mengulangnya, agar lebih dekat dengan Al Quran. Guru saya dulu juga sering mengingatkan bahwa sebagai seorang penghafal Quran harus lebih berhati-hati dengan segala yang diharamkan, menjaga kehalalan makanan yang masuk dalam tubuh, termasuk menjaga pandangan dan pendengaran. Karena bisa jadi ketidakhalalan itu yang membuat kita menjadi susah menghafal.

Semakin lama menyelami Al Quran, semakin banyak kita mengenal sifat-sifat Allah, petunjuk-petunjuk untuk meraih surgaNya, serta kisah-kisah yang dapat diambil pelajarannya. Untuk segala ketakutan menghadapi tantangan hidup, ada harapan bahwa interaksi kita dengan Al Quran saat ini yang akan menjadi sebab turunnya rahmat dan barakah Allah, yang akan memudahkan segala urusan hidup kita, yang akan jadi bekal untuk berbuat lebih banyak kemanfaatan. Dan saya masih terkesan dengan kata-kata seorang teman, “Kalau kita mau meluangkan hidup untuk mengurusi Al Quran, maka Allah yang akan mengurusi urusan kita.” Maka apa yang perlu diresahkan lagi, kalau segala urusan telah kita jaminkan pada Allah?
Semoga Allah selalu merahmati kita dengan Al Quran, saat ini dan selamanya. Amiin.

sumber: http://daarunnuroin.blogspot.com/2012/07/catatan-perjalanan-seorang-penghafal-al.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar