Jumat, 01 Maret 2013

Part 1 : Ambisius Harvard

Part 1 : Ambisius Harvard

Syafia menyeka air mata yang mengalir di pipi chabinya, membahasi kerudung merah jambu yang ia kenakan sore itu.  Kabar dari haris membuat semua harapannya hancur. Bukan ini bukan masalah penolakan cinta yang membuat patah hati. Bagi syafia ini lebih penting dari cinta apalagi tentang haris.  Syafia tidak pernah menganggap haris lebih dari sekedar sahabat kecil yang mereka tumbuh bersama dan perjuangan bersama hingga mereka tamat kuliah sarjana pun bersama.  Kompetisi. Itu yang selalu menyatukan syafia dan haris. Mereka selalu impas. Jika yang satu menang yang lain akan berkata “tunggu momen selanjutnya dan kamu akan aku kalahkan!”.  Sambil memberi satu tanda silang kekalahan dikalender kompetisi mereka, dan seperti biasa yang menang hanya cengar cengir bahagia sambil berkata “yukk kita makan, aku traktir!”. Dan merekapun damai.  Tapi semua ritual itu tidak bisa dilakukan untuk saat ini. Baik yang menang ataupun yang kalah. Mereka hanya terpaku diam. Terlebih syafia yang dilengkapi dengan deraian air mata.
“kenapa aku gak lulus ris? Padahalkan kita sama2 mengusahakannya. Ini gak adil. Kamu curang” ucap syafia sedikit kalap dan parau.
“ifi...sudahlah jangan menangis lagi.” Haris mencoba membujuk dan menahan tonjokan kata yang mengenai hatinya. Syafia menuduhnya curang padahal dia tidak berbuat apa2. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk pembelaan diri.  Dia tak ingin sahabatnya itu tambah terluka. Biasanya klu haris sudah memanggil dengan sebutan ifi, maka syafia langsung reda dari ngambeknya saat itu juga karena dia sangat senang dengan panggilan itu dan haris tidak pernah mw memanggilnya dengan dengan nama ifi kecuali saat2 tertentu saja. Seperti saat ini. Tapi syafia tetap tak bergeming. Ia hanya menunduk dalam.
****
“ris ayo buruan. Kamu lelet amat siih kayak cewek aja” cerewet syafia membuat haris kalang kabut. Gimana tidak, cowok janggung bertampang indo itu sangat merasa bersalah. Pasalnya ini adalah hari terakhir untuk mengirim aplikasi sekolah master ke universitas harvard, sedang haris baru bangun pukul 8 akibat bergadang nonton bola dan setelah shalat subuh tidur lagi.
“fi udah ah jangan lagi kita masukin aplikasinya. Kita gak bakalan lulus”. Ucap haris sedikit memelas karena malas. Tiba2 penyakit pesimis menghampirinya. Tantangan kompetisi selanjutnya yang tergila menurutnya adalah mengurus beasiswa untuk kuliah di fakultas teknik di harvard. Gila menurutnya tapi kenapa tidak dicoba ide dari gadis manis itu batin haris saat syafia mengutarakan nya 2 bulan lalu. Waktu itu mereka baru saja mengakhiri status jadi mahassiwa sarjana dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat di universtas yang berbeda. Haris tidak berniat untuk langsung lanjut studi. Dia ingin break dulu setahun ini dan melanjutkan kontrak kerjanya ke dengan perusahaan tempat iya bekerja waktu saat kuliah. Perkerjaan yang lebih dari cukup membiayai kuliahnya dan kehidupan keluarganya dikampung.
“sudah kamu jangan bawel. Ikuti saja aku. Atau kamu menyerah dan aku jadi pemenang tunggal. Ayolah kamu tinggal ikut aku kekedutaan. Semua aplikasi sudah aku siapkan. Oke. Kamu berhutang budi dengan ku..” haris hanya geleng2 kepala melihat sikap keras syafia dan ia pun mengherankan dirinya yang begitu bisa sabarnya mengahadi childish syafia.
“eh hati2 ngomongin hutang budi..” sela haris serius.
“loh kenapa emangnya?” syafia bertanya balik serius.
“kasian atuh budi neng. Masak kamu utangin mulu...sejak dahulu kala..” jawab haris nyengir mengingat kebiasan sahabat manisnya ini yang selalu mengcupakan kata2 itu atas jasa2 yang dia lakukan kepada haris. Jadi kesempatan haris ngeledekin.
“ih gariiing tw!”,ucap spontan syafia sambil mayun dan ngeloyor pergi meninggalkan haris yang masih cengar cengir. Syafia tak ingin kehilangan kesempatan ini. Dia harus mengikhtiarkan maksimal semua jalan yang bisa dilakukan termasuk menjadi supporter sahabatnya haris. Syafia sangat ingin bisa kuliah di harvard dan satu2nya teman yang bisa diajak berkompetisi dan yang bisa dijadikan alasan turunnya izin papa untuk melepaskan anak bungsunya ke cambridge adalah haris. Papa tidak akan pernah mengizinkan dia pergi sendiri kecuali ada temannya atau syafia telah punya suami. Mikirin suami membuat gadis usia 22 tahun itu sedikit puyeng..dia belum siap lahir batin untuk menikah. Satu2nya jalan adalah mengikhiarkan haris juga. Makanya syafia pun rela menguruskan berkas2 haris yang bisa diurusnya kesana kemari yang terkadang berhadapan omelan petugas birokrasi untuk mengurus surat ini dan itu. Dan terus meyakin haris yang terkesan ogah2an.
Kabar sore itu menghancurkan semua impian dan harapan yang ia bangun sejak dulu.  Letter of acceptence yang diperlihatkan haris hanya tertuju atas nama mr. Haris sanjaya yang diterima di program master teknik universitas harvard. Dikantor pos pun yang mereka cek tidak ada surat dari universitas harvard yang tertuju kepada syafia humairah. Nihil. Kalimat terakhir yang bisa diucapkan haris sesaat sebelum syafia meninggalkannya untuk wakt yang cukup lama “fi jangan pernah kamu berfikir kamu gagal untuk masuk harvard. Kamu tidak gagal fi. Hakikatnya kamulah yang berhasil. Bukan aku. Perjuanganmu yang sesungguhnya fi. Tolong jangan pernah berfikir apalagi mengucapkan kata gagal. Bukankah kita sudah sepakat kita tidak mengucapkan kata itu untuk setiap kompetisi yang kita lalui. Yang ada kesuksesan kita yang tertunda dan kita menemukan satu cara baru untuk mencapai keberhasilan itu.maafkan aku syafia. Jika kamu tidak setuju. Aku akan mundur dari harvard”.
***
Waktu 6 bulan bukanlah sebentar untuk mengoptimalkan hal2 produktif. Tapi itu tidak dilakukan syafia yang hanya uring uringan dirumah orang tuanya. Syafia benar2 patah semangat untuk melakukan apa apa. Gadis energik yang ambisius yang terbiasa dengan keunggulan prestasi dimanapun ia berada. Syafia memang anak yang cerdas. Kecerdasannya diatas rata malah. Sangat banyak prestasi yang diukir masa kuliah sarjananya. Mapres tingkat nasional, kompetisi keluar negeri yang hampir dua bulan sekali ia ikuti sebagai duta ini dan itu,apatah lagi prestasi tingkat nasional. Bahasa inggrisnya sudah seperti nativ saja. Syafia tipe pembelajar cepat. Les bahasa jepang, perancis dan mandarin sangat mudah ia kuasai. Itu satu anugrah yang tak dimiliki kebanyak orang. Tapi syafia lupa satu hal. Satu hal yang sangat menyengatnya dari alfa yang panjang selama ini. Tepatnya saat momen nostalgianya kekampus lama.  Tiba2 saja kakinya berbelok kanan masuk kepelatran mesjid kampus. Sambil membawa suasana hati yang masih tak ikhlas. Ia teringat dengan haris. Dimana anak itu sekrang. Bisik hati syafia galau. Jasadnya bergerak ke tempat wudhu. Air dingin menyentuh kulitnya menjalas hingga ke otak, trus keparu paru, masuk kejantung dangn secepat kilat nuansa dingin menjalar keselurh organ tubuhnya. Sudah lama ia tak melakukan shalat dhuha. Nuansa tenang dan dingin pun kembali ia rasakan saat menginjakkan kaki dilantai masjid. Segera dikenakannya mukena merah jambu yang tergantung rapi, dan 4 rakaan dhuha pun di tegakannya. Diantara duduk dua sujud  syafia menengadahkan tangannya dengan ringan, mengiba2 iba kepada sang khalik, dengan hati sedikit protes dan air mata yang menganak sungai. “ya Allah kenapa sih harus haris yang lulus, bukannya aku. Padahal aku yang mengikhtiarkan semuanya. Termasuk semua berkas2 haris. Tapi kenapa harus haris. Kenapa bukan kami berdua, atau tidak sama sekali.” Syafia mengadu sesegukan, dan segera tersadar saat seseorang menyentuh bahunya dengan lembut sambil mengulurkan tisu. Mb naila, kakak mentoringnya ketika mengambil mata kuliah agama islam semester 3. Syafia kaget dan spontan memeluk sang kakak. Mb naila balik memeluk erat syafia seakan ingin mengalirkan seluruh kekuatan yang ia miliki sepenuhnya untuk membantu menopang sedikit beban hati sang adik yang dia perhatikan sejak tadi sesegukan diujung sejadah.
“ dik, kalau kakak katakan bahwa hidup kita ini seperti novel apakah adek setuju?. Sebuah novel yang ditulis seorang pengarang dengan lebih dari satu episode cerita, dan alur cerita itu terserah pengarang yang membuatkanya. Kita sebagai pembaca hanya bisa menikmati tanpa punya hak sedikitpun untuk mengatur atur sang pengarang membuat jalan ceritanya. Dia yang punya ide, yang menciptakan ya suka suka dia, hebat tidaknya tokoh itu tergantung pengarang yang memberikan peran. Menurut mb hidup kita begitu. Syafia setuju?” Jelas mb naila sambil tersenyum. Syafia memandang bingung.
“ada Allah yang mengatur segalanya. Segala kelebihan yang ada pada diri kita sesunggunya bersumber dari DIA.  Maka jangan lupakan Allah dalam setiap langkah perjuanganmu.” Air mata syafia mengalir deras.  Allah. Ia tidak pernah benar2 mengingatNYA didalam hati dan fikiran. Segala yang tergerak hanya ritual semata. Tapi entah mengapa nasihat itu yang sering ia dengar saat mentoring agama islam dulu sekarang terasa begitu bermakna. Seketika syafia menginsyafi diri yang egois, sombong, ambisius dan lupa melibatkan Allah karena merasa mampu dan bisa. Maka ini teguran. Renungan panjang membuat satu keputusan yang bulat.
***


. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar