Part 1 : Ambisius Harvard
Syafia menyeka air mata yang mengalir di pipi chabinya,
membahasi kerudung merah jambu yang ia kenakan sore itu. Kabar dari haris membuat semua harapannya
hancur. Bukan ini bukan masalah penolakan cinta yang membuat patah hati. Bagi
syafia ini lebih penting dari cinta apalagi tentang haris. Syafia tidak pernah menganggap haris lebih
dari sekedar sahabat kecil yang mereka tumbuh bersama dan perjuangan bersama
hingga mereka tamat kuliah sarjana pun bersama.
Kompetisi. Itu yang selalu menyatukan syafia dan haris. Mereka selalu
impas. Jika yang satu menang yang lain akan berkata “tunggu momen selanjutnya
dan kamu akan aku kalahkan!”. Sambil
memberi satu tanda silang kekalahan dikalender kompetisi mereka, dan seperti
biasa yang menang hanya cengar cengir bahagia sambil berkata “yukk kita makan,
aku traktir!”. Dan merekapun damai. Tapi
semua ritual itu tidak bisa dilakukan untuk saat ini. Baik yang menang ataupun
yang kalah. Mereka hanya terpaku diam. Terlebih syafia yang dilengkapi dengan
deraian air mata.
“kenapa aku gak lulus ris? Padahalkan kita sama2
mengusahakannya. Ini gak adil. Kamu curang” ucap syafia sedikit kalap dan
parau.
“ifi...sudahlah jangan menangis lagi.” Haris mencoba membujuk
dan menahan tonjokan kata yang mengenai hatinya. Syafia menuduhnya curang
padahal dia tidak berbuat apa2. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk pembelaan
diri. Dia tak ingin sahabatnya itu
tambah terluka. Biasanya klu haris sudah memanggil dengan sebutan ifi, maka
syafia langsung reda dari ngambeknya saat itu juga karena dia sangat senang
dengan panggilan itu dan haris tidak pernah mw memanggilnya dengan dengan nama
ifi kecuali saat2 tertentu saja. Seperti saat ini. Tapi syafia tetap tak
bergeming. Ia hanya menunduk dalam.
****
“ris ayo buruan. Kamu lelet amat siih kayak cewek aja”
cerewet syafia membuat haris kalang kabut. Gimana tidak, cowok janggung
bertampang indo itu sangat merasa bersalah. Pasalnya ini adalah hari terakhir
untuk mengirim aplikasi sekolah master ke universitas harvard, sedang haris
baru bangun pukul 8 akibat bergadang nonton bola dan setelah shalat subuh tidur
lagi.
“fi udah ah jangan lagi kita masukin aplikasinya. Kita gak
bakalan lulus”. Ucap haris sedikit memelas karena malas. Tiba2 penyakit pesimis
menghampirinya. Tantangan kompetisi selanjutnya yang tergila menurutnya adalah
mengurus beasiswa untuk kuliah di fakultas teknik di harvard. Gila menurutnya
tapi kenapa tidak dicoba ide dari gadis manis itu batin haris saat syafia
mengutarakan nya 2 bulan lalu. Waktu itu mereka baru saja mengakhiri status
jadi mahassiwa sarjana dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat di
universtas yang berbeda. Haris tidak berniat untuk langsung lanjut studi. Dia
ingin break dulu setahun ini dan melanjutkan kontrak kerjanya ke dengan
perusahaan tempat iya bekerja waktu saat kuliah. Perkerjaan yang lebih dari
cukup membiayai kuliahnya dan kehidupan keluarganya dikampung.
“sudah kamu jangan bawel. Ikuti saja aku. Atau kamu menyerah
dan aku jadi pemenang tunggal. Ayolah kamu tinggal ikut aku kekedutaan. Semua
aplikasi sudah aku siapkan. Oke. Kamu berhutang budi dengan ku..” haris hanya
geleng2 kepala melihat sikap keras syafia dan ia pun mengherankan dirinya yang
begitu bisa sabarnya mengahadi childish syafia.
“eh hati2 ngomongin hutang budi..” sela haris serius.
“loh kenapa emangnya?” syafia bertanya balik serius.
“kasian atuh budi neng. Masak kamu utangin mulu...sejak dahulu
kala..” jawab haris nyengir mengingat kebiasan sahabat manisnya ini yang selalu
mengcupakan kata2 itu atas jasa2 yang dia lakukan kepada haris. Jadi kesempatan
haris ngeledekin.
“ih gariiing tw!”,ucap spontan syafia sambil mayun dan
ngeloyor pergi meninggalkan haris yang masih cengar cengir. Syafia tak ingin
kehilangan kesempatan ini. Dia harus mengikhtiarkan maksimal semua jalan yang
bisa dilakukan termasuk menjadi supporter sahabatnya haris. Syafia sangat ingin
bisa kuliah di harvard dan satu2nya teman yang bisa diajak berkompetisi dan
yang bisa dijadikan alasan turunnya izin papa untuk melepaskan anak bungsunya
ke cambridge adalah haris. Papa tidak akan pernah mengizinkan dia pergi sendiri
kecuali ada temannya atau syafia telah punya suami. Mikirin suami membuat gadis
usia 22 tahun itu sedikit puyeng..dia belum siap lahir batin untuk menikah.
Satu2nya jalan adalah mengikhiarkan haris juga. Makanya syafia pun rela
menguruskan berkas2 haris yang bisa diurusnya kesana kemari yang terkadang
berhadapan omelan petugas birokrasi untuk mengurus surat ini dan itu. Dan terus
meyakin haris yang terkesan ogah2an.
Kabar sore itu menghancurkan semua impian dan harapan yang ia
bangun sejak dulu. Letter of acceptence yang diperlihatkan haris hanya tertuju atas
nama mr. Haris sanjaya yang diterima di program master teknik universitas
harvard. Dikantor pos pun yang mereka cek tidak ada surat dari universitas
harvard yang tertuju kepada syafia humairah. Nihil. Kalimat terakhir yang bisa
diucapkan haris sesaat sebelum syafia meninggalkannya untuk wakt yang cukup
lama “fi jangan pernah kamu berfikir kamu gagal untuk masuk harvard. Kamu tidak
gagal fi. Hakikatnya kamulah yang berhasil. Bukan aku. Perjuanganmu yang
sesungguhnya fi. Tolong jangan pernah berfikir apalagi mengucapkan kata gagal.
Bukankah kita sudah sepakat kita tidak mengucapkan kata itu untuk setiap
kompetisi yang kita lalui. Yang ada kesuksesan kita yang tertunda dan kita
menemukan satu cara baru untuk mencapai keberhasilan itu.maafkan aku syafia.
Jika kamu tidak setuju. Aku akan mundur dari harvard”.
***
Waktu 6 bulan bukanlah sebentar untuk mengoptimalkan hal2
produktif. Tapi itu tidak dilakukan syafia yang hanya uring uringan dirumah
orang tuanya. Syafia benar2 patah semangat untuk melakukan apa apa. Gadis energik
yang ambisius yang terbiasa dengan keunggulan prestasi dimanapun ia berada.
Syafia memang anak yang cerdas. Kecerdasannya diatas rata malah. Sangat banyak
prestasi yang diukir masa kuliah sarjananya. Mapres tingkat nasional, kompetisi
keluar negeri yang hampir dua bulan sekali ia ikuti sebagai duta ini dan
itu,apatah lagi prestasi tingkat nasional. Bahasa inggrisnya sudah seperti
nativ saja. Syafia tipe pembelajar cepat. Les bahasa jepang, perancis dan
mandarin sangat mudah ia kuasai. Itu satu anugrah yang tak dimiliki kebanyak
orang. Tapi syafia lupa satu hal. Satu hal yang sangat menyengatnya dari alfa
yang panjang selama ini. Tepatnya saat momen nostalgianya kekampus lama. Tiba2 saja kakinya berbelok kanan masuk
kepelatran mesjid kampus. Sambil membawa suasana hati yang masih tak ikhlas. Ia
teringat dengan haris. Dimana anak itu sekrang. Bisik hati syafia galau.
Jasadnya bergerak ke tempat wudhu. Air dingin menyentuh kulitnya menjalas
hingga ke otak, trus keparu paru, masuk kejantung dangn secepat kilat nuansa
dingin menjalar keselurh organ tubuhnya. Sudah lama ia tak melakukan shalat
dhuha. Nuansa tenang dan dingin pun kembali ia rasakan saat menginjakkan kaki
dilantai masjid. Segera dikenakannya mukena merah jambu yang tergantung rapi,
dan 4 rakaan dhuha pun di tegakannya. Diantara duduk dua sujud syafia menengadahkan tangannya dengan ringan,
mengiba2 iba kepada sang khalik, dengan hati sedikit protes dan air mata yang
menganak sungai. “ya Allah kenapa sih harus haris yang lulus, bukannya aku. Padahal
aku yang mengikhtiarkan semuanya. Termasuk semua berkas2 haris. Tapi kenapa
harus haris. Kenapa bukan kami berdua, atau tidak sama sekali.” Syafia mengadu
sesegukan, dan segera tersadar saat seseorang menyentuh bahunya dengan lembut
sambil mengulurkan tisu. Mb naila, kakak mentoringnya ketika mengambil mata
kuliah agama islam semester 3. Syafia kaget dan spontan memeluk sang kakak. Mb
naila balik memeluk erat syafia seakan ingin mengalirkan seluruh kekuatan yang
ia miliki sepenuhnya untuk membantu menopang sedikit beban hati sang adik yang
dia perhatikan sejak tadi sesegukan diujung sejadah.
“ dik, kalau kakak katakan bahwa hidup kita ini seperti novel
apakah adek setuju?. Sebuah novel yang ditulis seorang pengarang dengan lebih
dari satu episode cerita, dan alur cerita itu terserah pengarang yang
membuatkanya. Kita sebagai pembaca hanya bisa menikmati tanpa punya hak
sedikitpun untuk mengatur atur sang pengarang membuat jalan ceritanya. Dia yang
punya ide, yang menciptakan ya suka suka dia, hebat tidaknya tokoh itu
tergantung pengarang yang memberikan peran. Menurut mb hidup kita begitu.
Syafia setuju?” Jelas mb naila sambil tersenyum. Syafia memandang bingung.
“ada Allah yang mengatur segalanya. Segala kelebihan yang ada
pada diri kita sesunggunya bersumber dari DIA.
Maka jangan lupakan Allah dalam setiap langkah perjuanganmu.” Air mata
syafia mengalir deras. Allah. Ia tidak
pernah benar2 mengingatNYA didalam hati dan fikiran. Segala yang tergerak hanya
ritual semata. Tapi entah mengapa nasihat itu yang sering ia dengar saat
mentoring agama islam dulu sekarang terasa begitu bermakna. Seketika syafia
menginsyafi diri yang egois, sombong, ambisius dan lupa melibatkan Allah karena
merasa mampu dan bisa. Maka ini teguran. Renungan panjang membuat satu
keputusan yang bulat.
***
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar