Derendan, NUS di Daerah
Lokal Riau
Efa
Riana*
NUS
(neglected and underutilized species)
sering disebut tanaman minoritas karena nilai ekonominya kecil dibandingkan
dengan produk kormesial dan perdagangan tanaman pokok ppertanian. Biodiversity International (sebelumnya IPGRI)
mendifenisikan spesies yang terabaikan dan spesies yang kurang dimanfaatkan
bukan hanya tanaman budidaya, tapi tumbuhan liar yang dikelola dan
dibudidayakan sebagai bahan pertimbangan. Tanaman yang masuk kategori nus
diantaranya buah dan kacang kacangan hingga daun tumbuhan, sereal, kacang
kacangan di hutan, akar dan getah.
Biodeiversity mengklasifikasikan tumbuhan yang tidak termanfaatkan
dimana mereka tumbuh secara luas tetapi tidak digunakan untuk kepentingan
ekonomo, genetic dan budaya. Beberpa spesies mungkin didistribusikan secara
global tetapi cenderung menempati relung khusus di pemanfaatan dalm fungsi
ekologi, system produksi dan konsumsi secara lokal. Petani dan masyarakat
kurang menggunakan spesies underutilized karena
mereka tidak kompetitif dengan spesies lain di lingkungan pertanian yang sama.
Tapi istimewanya NUS dapat berdapatasi dengan baik pada relung agro ekologi dan
area marginal, dan dibudidaya dan dimanfaatkan dengan menggunakan pengetahuan
masyarakat local.
Biodiversitas
mengatakan bahwa spesies yang terabaikan tumbuh di pusat asal spesies atau
pusat keragaman spesiesnya dan masih sangat penting dalam menopang ekonomi
masyarakat local disekitarnya. Tetapi
walaupun masyarakat local terus mempertahankan spesies tersebut dengan
cara mereka menggunakan dan keterpautan dengan social budaya mereka, masyarakat
tetap tidak cukup medokumentasikannya dan hal ini masih diabaikan oleh lemabaga
penelitian dan konservasi (Eyzaguirre et al
1999). Oleh karena itu spesies ini disebut
diabaikan karena tidak mendapat perhatian dari system pertanian nasional dan
kebijakan konservasi keanekaragaman hayati, dan pengembangannya diabaikan oleh
penelitian ilmiah, dan nyaris tidak terwakilkan dalam bank gen ex situ (Padulosi dan Hoeschle-Zeledon 2004).
Petani local merupakan pelaku yang
menjaga eksistemsi plasma nutfah dari spesies underutilized karena mereka bergantung dengan spesies itu sebagai
komponen penting dalam system pertanian mereka. Pengetahuan yang ada pada
petani merupakan warisan turun temurun dari generasi sebelumnya yang dijadikan
pengetahuan adat. Pada dasarnya batasan
tentang tanaman underutilized perlu
lebih ditekankan lagi. Masih terjadi perdebatan tolak ukur dari tanaman yang
tergolong NUS. Istilah kurang
dimanfaatkan (underutilized ) secara
umum merujuk pada spesies potensial tetapi masih belum sepenuhnya
direalisasikan. Namun menurut Padulosi
(2002) bahwa istilah ini tidak memberikan informasi tentang geografis, social
atau impikasi ekonomi. Berkaitan dengan distribusi geograsi NUS sering kali
hanya dimanfaatkan pada daerah tertentu, hubungan dengan kondisi social dan
implikasi ekonomi, banyak spesies yang menjadi kebutuhan esensial masyarakat
tetapi karena pemasaran tidak dikelola dengan baik maka tidak termanfaatkan
dalam sisi ekonomi.
Usaha dilakukan oleh lembaga GFU (Global Facilitation Unit for Underutilized
Species) untuk memberikan criteria dalam mengakarakterisasi NUS yaitu :
a. Membutuhkan batasan input eksternal
untuk produksi
b. Sesuai untuk produksi organic
c. Sesuai dengan budidaya pada lahan
marginal
d. Sesuai pada stabilitas ekosistem yang
rapuh
e. Masuk dalam system pertenian skala
kecil
f. Memiliki kepentingan tradisional
local dan/atau regional.
NUS merupaka asset biologis, yang
tersedia secara bebas, dari pedesaan dan memberikan berbagai manfaat dan produk
kepada masyarakat seperti makanan, tanaman obat, bahan kerajinan, dan
penghasilan tambahan. Sering juga
tanaman ini dikaitkan dengan nilai budaya dan agama masyrakat local sekitar,
makas secara tidak langsung masyarakat local melestariakn tanaman tersebut
(IPGRI 2000). Keberadaan NUS terancam
dengan adanya eksplotasi ekosistem secara luas dan petani yang menempatkan NUS
sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pendapat pribadi juga member dapat tidak
baik khususnya bagi pewarisab NUS.
NUS di Riau
Provinsi
Riau terdiri dari 13 kabupaten yang setiap kabupaten memiliki suku bangsa
beberapa suku dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda sehingga cara mereka
dalam memanfaatkan sumber daya alam yang ada didaerah mereka pun berbeda.
Penelusuran yang terekam penulis selama ini sebagai salah seorang putra daerah
yang berasal dari Provinsi Riau, menemukan tanaman khas Riau yang akan menjadi
bahasan yaitu tentang buah derendan (genus Lansium).
Derendan merupakan sebutan daerah
bagi jenis buah yang termasuk genus Lansium.
Secara morfologi buah, sekilias derendan hampir mirip dengan duku (Lansium domesicum) (Gambar 1).
(a) (b)
( c ) (d)
(e) (f)
(g) (h)
Gambar 1. Perbandingan dokumentasi buah
derendan dengan buah duku (Lansium
domseticum). a (derendan) dan b
(duku) model pertumbuhan dan perkambangan buah buni mirip berada pada satu
tandan penuh. Daging buah c (derendan) dibungkus kulit ari yang tebal
disbanding duku d (duku). Posisi pelekatan buah yang mirip antara duku (e, g)
dan duku (f,h)
Perbedaan yang sanga mencolok antara
derendan dan duku adalah kulit buah duku lebih bersih dan lebih licin dibanding
derendan sehingga lebih menarik untuk ekonomi, tetapi dari segi kualitas rasa
derendan sama manisnya dengan duku. Penyebaran buah derendan di provinsi
Riau diduga hanya didua kecamatan di Kabupaten Bengkalis yaitu kecamatan Rupat
dan Kecamatan bengkalis sebagai centre of
origin dan centre of diversity tanaman
derendan. Pulau bengkalis dan pulau rupat memikili jarak yang dekat. Musim derendan berbuah setahun sekali
pada bulan oktober hingga November untuk masa pemanen. Pemasaran hanya
dilakukan diwilayah sekitar karena terbatasnya akses dan pengelolaan pasar yang
professional. Derendan dijual perkilonya Rp.8000. Perkebunan derendan masih dilakukan
diperkarangn rumah warga. Jika ini dibudidayakan secara luas seperti duku maka
berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian khususnya masyarakat lokal
Karena derendan memiliki potensi yang hampir sama dengan duku, bedanya hanya
belum terekspos dan penampilan morfologi yang belum begitu menarik untuk
jadikan sebagai komoditas pertanian. Ini menjadi pekerjaan para pemulia tanaman
dan lembaga penelitian untuk melirik buah derendan guna melakukan perbaikan perbaikan
genetic sehingga diperoleh buah yang layak ditempat dikomoditas buah nasioanal.
*mahasiswa
pascasarjana IPB, mayor Biologi Tumbuhan asal pulau Rupat, Kab Bengkalis, Riau