Senin, 13 Februari 2017

Disiplin Tanpa Bentakan




oleh ibu Sri Susanti Tjahjadini, M. Pd

Banyak orang tua yang berkata keras dan berlaku kasar pada anak, dengan dalih mengajarkan anak untuk disiplin. Membentak, memarahi, mencubit, atau memukul untuk 'kesalahan' anak yang secara syariat tidak dibenarkan untuk diperlakukan demikian. Makanya tidak heran, menurut data dari KPAI, sebagian besar kasus kekerasan pada anak justru dilakukan oleh keluarga dekat. Orang tua nggak sadar kalau tindakan yang dianggap mendisiplinkan itu sebenarnya termasuk kekerasan pada anak. Baik secara vebal maupun tindakan. Ada kasus di sebuah sekolah di malang. Anak laki-laki yang memukul temannya sampai 2 gigi lepas dan mulut temannya sobek. Ketika ditanya bagaimana caranya memukul sampai seperti itu, jawab si anak, "Aku memukul, sekeras ayah memukul aku." Ketika dikonfirmasi ke ibunya, si ayah memang sering sekali 'main tangan' pada anaknya. Jika anak dianggap bandel, nggak menurut, berbuat kesalahan, maka tanganlah yang berbicara. Akhirnya, yang terekam pada otak anak tersebut adalah, kekerasan bisa menyelesaikan masalah.
Ada lagi cerita nyata, di SMP Negeri, Malang. Seorang murid laki-laki (sebut saja A) melakukan 'penembakan'. Semacam katakan cinta. Pada temannya (sebut B), yang juga laki-laki. Cara 'nembak'nya, si A bilang, "eh, mau nggak kamu mandi bareng aku? Ntar aku kasih uang 300ribu." Setelah digali lagi, ternyata dia punya daftar tarif, selain 300ribu untuk mandi bareng, ada yang 500ribu untuk tidur bareng, dan 100ribu untuk pegang-pegang aja. Untungnya, si B melapor pada guru sehingga bisa dilakukan pendalaman. Ketahuan lah kalau A ini menjadi simpanan om-om senang, biasa dipanggil untuk memuaskan nafsu bejat orang dengan mendapat upah. Kemudian dia ingin membayar temannya untuk melakukan hal yang sama, karena ingin dipuaskan juga seperti klien-kliennya itu. Dipanggillah orang tua si A, ibunya yang datang. Kata si ibu, "Jangan sampai bapaknya tau. Nanti anak saya bisa digebukin." Lagi-lagi, anak dari keluarga yang biasa berbicara dengan bahasa pukulan. Anak yang nggak merasa aman dan nyaman di dalam rumah, lalu mencari kenyamanan di luar. Yang justru malah menjerumuskannya.

Kasus ketiga. Seorang remaja perempuan yang sudah seminggu kabur dari rumah. Awalnya, si anak ini pergi sama teman-temannya, dan janji pada ibunya akan pulang jam 9 malam. Ternyata janjinya meleset. Sampai rumah sudah jam 10 malam, diantar teman-temannya. Si ibu marah besar. Di depan teman-teman anaknya, beliau marah dan memotong habis rambut
anaknya. Sejak itu pergi dari rumah. Harga dirinya terlukai. Nggak ditanya alasan keterlambatannya, nggak didengar penjelasannya, dimarahi dan dihukum di depan teman-temannya. Ditambah lagi, hukuman potong rambut itu nggak disepakati sebelumnya. Muncul karena spontanitas si ibu yang marah membabi buta tanpa mau mendengar anaknya. Mungkin tubuhnya nggak luka, rambutnya bisa tumbuh lagi, tapi harga diri dan rasa hormatnya pada sosok ibu, jelas telah hancur.
Apa benang merah dari ketiga kasus ini? Kekerasan anak oleh orang tua. Verbal dan non verbal. Orang tua sering sekali menyalahkan lingkungan atas perilaku anaknya yang dianggap melanggar norma. Padahal, penyebabnya justru orang tuanya sendiri. Mendidik anak itu wajib, melatih anak untuk berdisiplin itu harus. Tapi yang utama dilakukan terlebih dahulu adalah punya ilmu, supaya nggak salah langkah.  Jika kita mengingat kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk mengurbankan Ismail. Yang dilakukan nabi Ibrahim pertama kali adalah dialog, Menyampaikan pada Ismail pada beliau diperintahkan Allah demikian, dan menanyakan bagaimana pendapat Ismail. Itulah luar biasanya nabi Ibrahim, untuk melaksanakan perintah yang turun langsung dari Allah saja, beliau masih menanyakan pendapat anaknya. Maka, mestinya kita juga mencontoh sikap nabi Ibrahim. Apalagi pada
anak yang sudah baligh, saatnya diperlakukan sebagai menteri. Tanyakan pendapatnya, cari tau alasannya, hargai masukannya. Jika di dalam keluarga nggak terbiasa berdiskusi, komunikasi hanya berupa instruksi atau perintah top down, dimana anak selalu berada di posisi bawah. Jangan heran jika suatu saat anak akan mencari 'rumah' lain yang lebih nyaman. Jangan lupa, bagi anak yang kondisi pengasuhannya jauh dari ideal, indikator nyaman adalah bebas dari
aturan. Anak-anak labil yang mencari kenyamanan di luar rumah ini menjadi mangsa bagi perusak-perusak moral generasi muda : industry pornografi, narkoba dan sebagainya.

Ngeri ya? Banget. Tapi nggak cukup kita hanya mengutuk atau meratap. Lakukan sesuatu. Minimal, dari lingkungan kita sendiri. Paling sedikit, pada anak-anak kita sendiri. Semua pasti ingin punya anak yang mandiri, punya kesadaran untuk bertanggung jawab minimal pada dirinya sendiri. Nggak bisa lho, itu tercapai dengan membentak, mencubit, atau memukul anak. Anak yang mengalami kekerasan mungkin kelihatan langsung patuh. Tapi dia patuh
karena takut. Dan memori di otaknya akan menyimpan, begitu caranya menyelesaikan masalah. Yang suatu saat nanti, perlakuan yang dia alami akan diulanginya pada orang lain. Atau bisa juga muncul dalam dirinya adalah rasa rendah diri dan nggak berdaya. Anak-anak seperti ini rentan ditekan oleh orang lain dalam komunitasnya. Korban kekerasan, baik verbal dan non verbal di dalam rumah, bisa menjadi pelaku atau justru korban bullying.

Lalu, gimana caranya melatih anak disiplin?
1.      DIALOG
yang dicontohkan oleh para nabi. Dialog ya, bukan monolog. Dialog itu pembicaraan dua arah. Masing2 punya kesempatan yang sama untuk bicara dan mendengarkan. Kalau ibu-ibu kayak kita gini ngomong sama anak pake metode ceramah, kadang-kadang ada bonusnya omelan, trus si anak Cuma diam sambil bersungut-sungut. Itu namanya monolog, bukan dialog.

2.      KOMITMEN DAN KONSEKUENSI
 Tetapkan bersama anak, aturan yang ingin diterapkan. Buat kesepakatan, minta anak berkomitmen. Konsekuensi yang berlaku akibat aturan yang dilanggar juga ditetapkan
dengan sepengetahuan anak. Dan dibicarakan di awal. Kalau belum ada komitmen akan aturan dan konsekuensi yang disepakati, jangan memberi hukuman secara spontanitas. Kita aja nggak mau kan, dihukum secara tiba-tiba. Nggak ada aturan, nggak ada kesepakatan,  nggak ada peringatan, tiba-tiba langsung dihukum. Pasti langsung merasa
diperlakukan nggak adil. Sama, anak pun begitu. Lalu, tetapkan target secara bertahap, yang ditingkatkan jika target telah terpenuhi. Misalnya, dalam hal melatih anak disiplin sholat. Target pertama, anak sholat 1 waktu dulu, rutin setiap hari. Biarkan
anak pilih mau sholat apa. Kalau mau sholat maghrib, setiap hari sholat maghrib nggak boleh bolong. Kalau anak ingin sholat di waktu lain, nggak masalah. Tapi, sholat maghribnya tetap harus jalan. Kalau sudah berhasil sholat maghrib setiap hari berturut-turut selama 1 bulan, misalnya. Tambah lagi 2 waktu sholat, begitu terus sampai bisa
sholat 5 waktu. Sudah berhasil sholat 5 waktu setiap hari, tingkatkan targetnya. Sholat di awal waktu, perbaiki bacaan dan tingkatkan kekhusyukan. Kalau sudah berhasil, tambah target lagi sholat sunnah. Sholat sunnah aja udah banyak tuh, insya Allah kita nggak akan kekurangan materi untuk mengajarkan anak sholat sampai dia aqil baligh nanti.

3.      SABAR
Melatih disiplin memang bukan pekerjaan mudah. Kalau nggak perbanyak stok sabar, kita akan mudah marah. Kalau marah, target nggak akan tercapai. Karena anak nggak akan menangkap pesan, dari kata-kata yang terucap dengan amarah. Anak cuma tau, dia dimarahi. Tapi nggak ngerti alasannya. Apalagi kalau kita terlalu banyak bicara. Marah nyerocos ke sana kemari, poin yang ingin kita sampaikan malah tenggelam. Rentang konsentrasi anak bisa diasumsikan = 5 menit + usia. Anak usia 5 tahun, rentang konsentrasinya = 5 menit + 5 menit. Cuma 10 menit aja. Jadi kalau mau menegur atau memberitahu kesalahan anak, sampaikan dengan ringkas dan padat. Bicarakan di awal kalimat. To the point. Dan harus selesai sebelum waktu rentang konsentrasinya berakhir. Nggak usah ngelantur kemana-mana. Percuma, anak nggak akan dengar. Perbaiki komunikasi yang efektif dengan anak. Agar anak mau mendengar kita, kita dulu yang harus mau mendengarkan mereka dan berempati dengan apa yang mereka rasakan. Jika kita terbiasa mengabaikan pertanyaan dan ungkapan hati anak yang bagi kita remeh. Nanti, kita yang akan diabaikan, dianggap remeh. Ingat, anak sering kali adalah copy dari orang tuanya.

4.      LURUSKAN NIAT
 mendidik anak sebagai ikhtiar untuk menjaga keluarga kita dari api neraka. Karena kekuatan bermula dari keluarga. Keluarga bisa menjadi asbabul ujur (peluang dan sarana mendapatkan pahala), bisa juga menjadi asbabul a'tsam (peluang dan sarana menerima dosa). Semoga anak-anak kita termasuk dalam orang yang mengalirkan pahala jariyah bagi orang tuanya, dan bukannya dosa jariyah. Aamiin... Allahumma amiin...

sumber : Grup WA [10:33 09/12/2016] +62 812-1898-5542

Tidak ada komentar:

Posting Komentar