oleh ibu Sri Susanti Tjahjadini, M. Pd
Banyak orang tua yang berkata keras dan berlaku kasar pada anak, dengan dalih
mengajarkan anak untuk disiplin. Membentak, memarahi, mencubit, atau memukul
untuk 'kesalahan' anak yang secara syariat tidak dibenarkan untuk diperlakukan
demikian. Makanya tidak heran, menurut data dari KPAI, sebagian besar kasus kekerasan
pada anak justru dilakukan oleh keluarga dekat. Orang tua nggak sadar kalau
tindakan yang dianggap mendisiplinkan itu sebenarnya termasuk kekerasan pada
anak. Baik secara vebal maupun tindakan. Ada kasus di sebuah sekolah di malang.
Anak laki-laki yang memukul temannya sampai 2 gigi lepas dan mulut temannya
sobek. Ketika ditanya bagaimana caranya memukul sampai seperti itu, jawab si
anak, "Aku memukul, sekeras ayah memukul aku." Ketika dikonfirmasi ke
ibunya, si ayah memang sering sekali 'main tangan' pada anaknya. Jika anak dianggap
bandel, nggak menurut, berbuat kesalahan, maka tanganlah yang berbicara.
Akhirnya, yang terekam pada otak anak tersebut adalah, kekerasan bisa
menyelesaikan masalah.
Ada lagi cerita nyata, di SMP Negeri, Malang. Seorang murid
laki-laki (sebut saja A) melakukan 'penembakan'. Semacam katakan cinta. Pada temannya
(sebut B), yang juga laki-laki. Cara 'nembak'nya, si A bilang, "eh, mau
nggak kamu mandi bareng aku? Ntar aku kasih uang 300ribu." Setelah digali
lagi, ternyata dia punya daftar tarif, selain 300ribu untuk mandi bareng, ada
yang 500ribu untuk tidur bareng, dan 100ribu untuk pegang-pegang aja. Untungnya,
si B melapor pada guru sehingga bisa dilakukan pendalaman. Ketahuan lah kalau A
ini menjadi simpanan om-om senang, biasa dipanggil untuk memuaskan nafsu bejat orang
dengan mendapat upah. Kemudian dia ingin membayar temannya untuk melakukan hal
yang sama, karena ingin dipuaskan juga seperti klien-kliennya itu. Dipanggillah
orang tua si A, ibunya yang datang. Kata si ibu, "Jangan sampai bapaknya
tau. Nanti anak saya bisa digebukin." Lagi-lagi, anak dari keluarga yang
biasa berbicara dengan bahasa pukulan. Anak yang nggak merasa aman dan nyaman
di dalam rumah, lalu mencari kenyamanan di luar. Yang justru malah
menjerumuskannya.
Kasus ketiga. Seorang remaja perempuan yang sudah seminggu
kabur dari rumah. Awalnya, si anak ini pergi sama teman-temannya, dan janji
pada ibunya akan pulang jam 9 malam. Ternyata janjinya meleset. Sampai rumah
sudah jam 10 malam, diantar teman-temannya. Si ibu marah besar. Di depan
teman-teman anaknya, beliau marah dan memotong habis rambut
anaknya. Sejak itu pergi dari rumah. Harga dirinya terlukai. Nggak ditanya
alasan keterlambatannya, nggak didengar penjelasannya, dimarahi dan dihukum di
depan teman-temannya. Ditambah lagi, hukuman potong rambut itu nggak disepakati
sebelumnya. Muncul karena spontanitas si ibu yang marah membabi buta tanpa mau mendengar
anaknya. Mungkin tubuhnya nggak luka, rambutnya bisa tumbuh lagi, tapi harga
diri dan rasa hormatnya pada sosok ibu, jelas telah hancur.
Apa benang merah dari ketiga kasus ini? Kekerasan anak oleh
orang tua. Verbal dan non verbal. Orang tua sering sekali menyalahkan
lingkungan atas perilaku anaknya yang dianggap melanggar norma. Padahal, penyebabnya
justru orang tuanya sendiri. Mendidik anak itu wajib, melatih anak untuk
berdisiplin itu harus. Tapi yang utama dilakukan terlebih dahulu adalah punya
ilmu, supaya nggak salah langkah. Jika
kita mengingat kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan Allah untuk mengurbankan
Ismail. Yang dilakukan nabi Ibrahim pertama kali adalah dialog, Menyampaikan pada Ismail pada beliau diperintahkan Allah demikian,
dan menanyakan bagaimana pendapat Ismail. Itulah luar biasanya nabi Ibrahim,
untuk melaksanakan perintah yang turun langsung dari Allah saja, beliau masih
menanyakan pendapat anaknya. Maka, mestinya kita juga mencontoh sikap nabi
Ibrahim. Apalagi pada
anak yang sudah baligh, saatnya diperlakukan sebagai menteri. Tanyakan pendapatnya,
cari tau alasannya, hargai masukannya. Jika di dalam keluarga nggak terbiasa
berdiskusi, komunikasi hanya berupa instruksi atau perintah top down, dimana anak
selalu berada di posisi bawah. Jangan heran jika suatu saat anak akan mencari
'rumah' lain yang lebih nyaman. Jangan lupa, bagi anak yang kondisi pengasuhannya
jauh dari ideal, indikator nyaman adalah bebas dari
aturan. Anak-anak labil yang mencari kenyamanan di luar rumah ini menjadi
mangsa bagi perusak-perusak moral generasi muda : industry pornografi, narkoba
dan sebagainya.
Ngeri ya? Banget. Tapi nggak cukup kita hanya mengutuk atau meratap. Lakukan
sesuatu. Minimal, dari lingkungan kita sendiri. Paling sedikit, pada anak-anak
kita sendiri. Semua pasti ingin punya anak yang mandiri, punya kesadaran untuk bertanggung
jawab minimal pada dirinya sendiri. Nggak bisa lho, itu tercapai dengan
membentak, mencubit, atau memukul anak. Anak yang mengalami kekerasan mungkin
kelihatan langsung patuh. Tapi dia patuh
karena takut. Dan memori di otaknya akan menyimpan, begitu caranya menyelesaikan
masalah. Yang suatu saat nanti, perlakuan yang dia alami akan diulanginya pada
orang lain. Atau bisa juga muncul dalam dirinya adalah rasa rendah diri dan
nggak berdaya. Anak-anak seperti ini rentan ditekan oleh orang lain dalam komunitasnya.
Korban kekerasan, baik verbal dan non verbal di dalam rumah, bisa menjadi
pelaku atau justru korban bullying.
Lalu, gimana caranya melatih anak disiplin?
1.
DIALOG
yang dicontohkan oleh para nabi. Dialog
ya, bukan monolog. Dialog itu pembicaraan dua arah. Masing2 punya kesempatan
yang sama untuk bicara dan mendengarkan. Kalau ibu-ibu kayak kita gini ngomong
sama anak pake metode ceramah, kadang-kadang ada bonusnya omelan, trus si anak
Cuma diam sambil bersungut-sungut. Itu namanya monolog, bukan dialog.
2.
KOMITMEN
DAN KONSEKUENSI
Tetapkan bersama anak, aturan yang ingin
diterapkan. Buat kesepakatan, minta anak berkomitmen. Konsekuensi yang berlaku
akibat aturan yang dilanggar juga ditetapkan
dengan sepengetahuan anak. Dan dibicarakan di awal. Kalau belum ada komitmen
akan aturan dan konsekuensi yang disepakati, jangan memberi hukuman secara
spontanitas. Kita aja nggak mau kan, dihukum secara tiba-tiba. Nggak ada
aturan, nggak ada kesepakatan, nggak ada peringatan, tiba-tiba langsung
dihukum. Pasti langsung merasa
diperlakukan nggak adil. Sama, anak pun begitu. Lalu, tetapkan target secara
bertahap, yang ditingkatkan jika target telah terpenuhi. Misalnya, dalam hal
melatih anak disiplin sholat. Target pertama, anak sholat 1 waktu dulu, rutin
setiap hari. Biarkan
anak pilih mau sholat apa. Kalau mau sholat maghrib, setiap hari sholat maghrib
nggak boleh bolong. Kalau anak ingin sholat di waktu lain, nggak masalah. Tapi,
sholat maghribnya tetap harus jalan. Kalau sudah berhasil sholat maghrib setiap
hari berturut-turut selama 1 bulan, misalnya. Tambah lagi 2 waktu sholat,
begitu terus sampai bisa
sholat 5 waktu. Sudah berhasil sholat 5 waktu setiap hari, tingkatkan targetnya.
Sholat di awal waktu, perbaiki bacaan dan tingkatkan kekhusyukan. Kalau sudah
berhasil, tambah target lagi sholat sunnah. Sholat sunnah aja udah banyak tuh,
insya Allah kita nggak akan kekurangan materi untuk mengajarkan anak sholat
sampai dia aqil baligh nanti.
3.
SABAR
Melatih disiplin memang bukan pekerjaan
mudah. Kalau nggak perbanyak stok sabar, kita akan mudah marah. Kalau marah,
target nggak akan tercapai. Karena anak nggak akan menangkap pesan, dari kata-kata
yang terucap dengan amarah. Anak cuma tau, dia dimarahi. Tapi nggak ngerti
alasannya. Apalagi kalau kita terlalu banyak bicara. Marah nyerocos ke sana
kemari, poin yang ingin kita sampaikan malah tenggelam. Rentang konsentrasi
anak bisa diasumsikan = 5 menit + usia. Anak usia 5 tahun, rentang
konsentrasinya = 5 menit + 5 menit. Cuma 10 menit aja. Jadi kalau mau menegur
atau memberitahu kesalahan anak, sampaikan dengan ringkas dan padat. Bicarakan
di awal kalimat. To the point. Dan harus selesai sebelum waktu rentang
konsentrasinya berakhir. Nggak usah ngelantur kemana-mana. Percuma, anak nggak
akan dengar. Perbaiki komunikasi yang efektif dengan anak. Agar anak mau
mendengar kita, kita dulu yang harus mau mendengarkan mereka dan berempati
dengan apa yang mereka rasakan. Jika kita terbiasa mengabaikan pertanyaan dan ungkapan
hati anak yang bagi kita remeh. Nanti, kita yang akan diabaikan, dianggap
remeh. Ingat, anak sering kali adalah copy dari orang tuanya.
4.
LURUSKAN
NIAT
mendidik anak sebagai ikhtiar untuk menjaga
keluarga kita dari api neraka. Karena kekuatan bermula dari keluarga. Keluarga bisa
menjadi asbabul ujur (peluang dan sarana mendapatkan pahala), bisa juga menjadi
asbabul a'tsam (peluang dan sarana menerima dosa). Semoga anak-anak kita termasuk
dalam orang yang mengalirkan pahala jariyah bagi orang tuanya, dan bukannya
dosa jariyah. Aamiin... Allahumma amiin...
sumber : Grup WA [10:33 09/12/2016] +62 812-1898-5542