Mengenal
Ikhwah Du’at dengan Ma’rifah yang Sempurna dan Sebaliknya.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (Al
Hujurat:10).
Ukhuwwah, setelah generasi pertama
ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata penghias bibir kaum muslimin
dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita datang dengan ukhuwah
islamiyahnya. Kita telah berusaha menerapkannya di kalangan kita dan
menginginkan kembalinya ikatan ummat yang saling bersaudara dengan jiwa ukhuwah
islamiyah. Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan masyarakat, kita harus
mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri.
Ikhwah berarti saudara sedarah,
sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara sekandung, lebih dari
sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf, tafahum dan takaful.
Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola
berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini,
sebab akan dapat membawa resiko. Pernah dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah,
ketika sedang mengadakan perjalanan yang panjang di malam hari melewati
bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang
ikhwah “hilang” dari barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu
anggota yang “hilang”. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan.
Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai penyakit
rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb selamat, tak masuk
jurang.
Demikianlah satu akibat jika kita tak
pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh yang
menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah mengenalkan dirinya kepada
ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali ikhwah sedini dan sesempurna
mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya
tafahum dan takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring
dengan kadar soliditas ukhuwah kita.
Adabut Ta’amul Ma’al Mas’ul
(Ketua/Pimpinan)
Dalam da’wah seorang pemimpin
mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan
memberikan ilmu. - Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah
ruhiyah. - Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah
secara umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.
1. Taat,
Yaitu melaksanakan perintah dan
merealisasikannya dalam kondisi semangat atau malas dan dalam kondisi sulit
ataupun mudah. “Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan
senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan
terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).
Jama’ah, dalam merealisasikan
tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya.
Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash, amal,
jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan
amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi jahat kaliber internasional pun
menuntut hal yang identik demikian, bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad
Yahudi bahkan tak segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti
berkhianat.
Jama’ah da’wah tidaklah demikian,
orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing
akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Jama’ah kita
mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi dalam
rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya
sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu
menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.
2. Tsiqoh,
Yakni tentramnya jiwa dengan seluruh
yang keluar darinya. Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan
komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan
kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan
serta ketaatan. “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap
sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An
Nisa’ (4):65).
Pemimpin adalah unsur penting dalam
dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang timbal balik
antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca yang menentukan sejauhmana
kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan
tujuan, dan ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah
segalanya dalam keberhasilan da’wah. Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an
dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada diri sendiri dengan tulus
mengenai beberapa hal sbb: - Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat
hidupnya
- Kepercayaan terhadap kapasitas dan
keikhlasannya.
- Kesiapan menerima perbedaan pendapat
dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi perintah dan atau larangan yang berbeda
dengan pendapat kita.
- Kesiapan meletakkan seluruh
aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.
3. Minta izin,
Jama’ah mengetahui segala kondisimu
dan selalu ada hubungan ruh dan aktivitas dengan jama’ah. Sebenarnya bergerak
dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul
oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus terkoordinasi rapi
ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh saling
menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak menyempal dari
jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu tertentu. Harus
ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah.
Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah
memberi taujihat yang luar biasa: “Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah
(gerakan), mutu harokah tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu
musyarokah tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan),
dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya”.
4. Memuliakan mas’ul.
Memuliakan, menghormati mas’ul tidak
semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi karena dirinya dipandang
sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam untuk menyerukan hidayah
ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan kedudukan pemimpin akan merusak
citra dan keutuhan jama’ah.
5. Merahasiakan nasihat.
Di antara sifat mu’min adalah suka
nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.
Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi penghalang untuk itu, dalam
rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh
merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga mas’ul harus lapang dada, dan
bersyukur dalam menerimanya.
“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum
muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).
Adapun adab yang harus kita jaga dalam
memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara.
Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat
dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya diterima menurut
bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara diam-diam berarti telah
menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika kita menasihatinya dengan cara
terang-terangan di hadapan orang banyak, seolah kita telah mempermalukan dan
merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh
berubah walau sehelai rambut pun. Tidak merasa lebih mulia, tidak menggurui
sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan yang penuh dengan
kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya tak bergeser sedikitpun
Adabut Ta’amul Ma’al Muayyid
(Pendukung) / Junud (Prajurit)
1. Tawazun dalam menilai/memuji,
mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula
meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta rendah tak
bernilai.
2. Mendahulukan yang terpenting dari
yang penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah dalam hati
3. Sedikit dalam nasihat.
4. Menghindari cara menggurui,
meskipun dengan argumen yang jitu.
5. Hindari jawaban langsung atau
kritik pedas
6. Hati-hati dari penyia-nyiaan
potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang
tak bermanfaat.
7. Menganggap mereka (mad’u) cerdas
dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang
aksiomatik (badihiyat).
8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap
tempat ada perkataannya, “khotibun naas ‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka
sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).
9. Mempelajari kondisinya dan
mengetahui akan halnya: Jangan mencacinya apabila terlambat dari kegiatan
Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu Jangan membebani melebihi
kemampuan
10. “Membina tidak cukup sehari
semalam”.
11. Jadilah qudwah baginya dalam
segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3) 12. Terus menerus dalam
menda’wahi sampai tampak hasilnya.
Adabut Ta’amul Ma’al Ikhwah
(Saudara-Saudara Seperjuangan)
1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada
mereka
2. Menampakkan cinta dan menahan marah
serta dendam karena kelalaian mereka
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan
ma’ruf sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika
bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim)
“…dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebaikan” (Ali Imron:134)
Manusia adalah tempatnya salah dan
lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu. Adalah
tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan hubungan dengannya
ketika lalai. Justru yang paling baik adalah dengan menesihatinya.
Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap menjalin kasih sayang
baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu ciri kehidupan
masyarakat muslim.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al Fath:29)
Bahkan kadang kala kecintaan itu kita
ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra berkata; Bersabda Rasulullah SAW:
“Jika seorang mencintai saudaranya, maka beritahukanlah kepadanya bahwa ia
mencintainya karena Allah” (Abu Dawud). Sedangkan anjuran untuk menahan marah
cukuplah nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan
berkata: “Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”,
kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah”
(HR Bukhari). Marah itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan
membawa dosa, sedangkan menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik
pahala surga. Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Siapa yang
menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di hari qiyamat Allah
akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian disuruhnya memilih
bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).
3. Mendo’akan mereka ketika ghaib.
“Mintalah
ampun untuk dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan”
(Muhammad: 19)
Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah
dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir
semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang baru dibina itu
Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk sebuah persudaraan karena
Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman” (Al Hasyr: 10)
Abu Darda’ RA berkata, bersabda
Rasulullah SAW: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang
dido’akan itu do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada
Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu
supaya disambut: amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri
seperti itu)” (HR. Muslim).
4. Mengakui pertolongan mereka baik
dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita) tidak
mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.
5. Tidak suka mencelakakan mereka dan
bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.
6. Saling menolong, “tolonglah
saudaramu baik saat mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.
7. Mempermudah urusan-urusan yang
sulit.
Salah satu dari ciri seorang muslim
adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami saudaranya. “Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185)
“Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika
salah seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam” (HR.
(Bukhari). Dari Ummul Mu’minin RA: “Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah
akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika
urusan itu mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang
menjadi pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas
dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali
jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya
semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih). Abu Qatadah RA berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan
muslim lainnya, untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari
kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau
melepaskan bebannya” (HR. Muslim).
8. Memberikan nasihat. Tak tersisa
dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh
dengannya, kalau kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia
memberikan cukup kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan
sholat di masjid jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan
penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri). Dan berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah
orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat
kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan siapa yang tak menerima nasihatmu
bukanlah saudaramu”. [ ]
sumber: http://shirotsuya.multiply.com/journal/item/51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar