Dalam
keseharian kehidupan ini, kita seringkali melakukan aktivitas bercermin. Tidak
pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap, itu-itu juga, aneh
bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan, kita selalu
menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya, kurang lebih
karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak
ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.
Hanya saja,
jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak
mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu
marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya topeng yang kita amat-amati,
tapi yang terpenting adalah bagaimana isi dari topeng yang kita pakai ini.
Yaitu diri kita sendiri.
Sahabatku,
Mulailah
amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan
bercahaya bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam
terbakar dalam bara jahannam?"
Lalu tatap
mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan
kerinduan, menatap Allah yang Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap
Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah
mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja
membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa
gerangan yang kau tatap selama ini?"
Lalu tataplah
mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut
kalimat thayibah, 'laaillaahaillallaah', ataukah akan menjadi mulut berbusa
yang akan menjulur dan di akhirat akan memakan buah zakum yang getir
menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan
nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang
terluka dengan mulut kita ini!"
"Wahai
mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Betapa banyak dusta yang engkau ucapkan.
Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris
tajam? Betapa banyak kata-kata yang manis semanis madu palsu yang engkau
ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa
jarangnya engkau menyebut nama Allah dengan tulus? Betapa jarangnya engkau syahdu
memohon agar Allah mengampunimu?"
Sahabatku,
Tataplah diri
kita dan tanyalah, "Hai kamu ini anak shaleh atau anak durjana? Apa saja
yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini? Dan apa yang telah engkau
berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya?! Tidak tahukah engkau
betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!"
"Wahai
tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita,
bercengkrama di surga sana? Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih
di dalam lahar membara jahannam tanpa ampun dengan derita tiada akhir?"
"Wahai
tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang
yang engkau zhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah
yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang
engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang
engkau rampas?"
"Wahai
tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau
malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu
atau selemah daun-daun yang mudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu
atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"
Sahabatku,
Ingatlah
amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikkan,
berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan dibalik penampilanmu ini?
Apakah engkau ini dermawan atau si pelit yang menyebalkan? Berapa banyak uang
yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera
rendah hawa nafsumu"
"Apakah
engkau ini shaleh atau shalehah seperti yang engkau tampakkan? Khusyu-kah
shalatmu, zikirmu, do’amu, ...ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai
tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"
Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin
dengan apa yang tersembunyi. Betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang
kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang
terbungkus topeng-topeng duniawi!
Sahabat-sahabat
sekalian,
Sesunguhnya
saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi
diri ini.***
(Sumber :
Jurnal MQ Vol.1/No.1/Mei 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar