Ku dapati ia diawal jalinan
persahabatan sebagai sosok yang sangat pendiam.
Tak banyak cerita yang terangkai dari nya, tak banyak timpal bicara saat
kami berkumpul melepas rindu persahabatan.
Sosok kaku yang sering membuat sanguine ku mendadak lenyap. Hanya ada eksperi resmi dan formal saat
bersamanya. Aku adalah sang pengagum
kepemimpinan yang vocal dan visioner. Hingga
satu kali aku diberi kesempatan berjalan bersamanya untuk tugas di luar kota,
yang merubah pandangku pada sahabat ku itu.
Dia seorang aktivis keilmuan yang aktif disebuah lembaga keilmuan
tingkat nasional. Ku temui rekan2 kerjanya adalah mereka2 dengan segudang
prestasi akademis. Perjalanan ke luar
negeri seperti tempat bermain bagi mereka untuk agenda dari organisasi
mereka. Jepang, belanda, jerman,
perancis, korea dll. Siapa yang tak
ingin keluar negeri, melihat dan menikmati perjalanan ke negera lain, mencari
suasana baru, pengetahuan baru dan pastinya sebagai nilai dan eksistansi
diri.
Sahabatku ini, bukan seperti
mereka. Sederhana dan tak show up. Melangkah slow tapi pasti. Cerdas dan
totalis dengan amanah. Saat kesempatan
duduk bersama menunggu kedatangan bus untuk membawa kami kembali ke kota asal,
aku bertanya kepadanya
“ kamu tidak ingin keluar negeri
seperti teman2 mu?” tanya ku penasaran sambil menunggu serius jawaban
darinya. Hening hitung menit baru dia
menjawab pertanyaanku.
“ untuk apa?” jawaban yang
singkat dan padat membuat aku speechless dan
tak habis pikir. Untuk apa? .sekarang aku malah terdiam lama. Untuk apa ya? aku
kehilangan jawaban sesaat. Saat otak ku mensearching
jawaban logik yang bisa dia terima, dia kembali bersuara “ bagi saya, keluar negeri saat ini belum menjadi
prioritas. Saya lebih senang jika
anggota saya yang lebih dahulu mencicipi kesempatan keluar negeri. ntahlah, selama ini sya berfikir, tentang
impian2 saya. dan setelah saya lihat
kembali hamper semuanya untuk diri saya saja.. dan mungkin sebagian besar kita
bgtu. Menulis sekian ratus target
impian. Tapi berapa persen dari impian yang ada adalah untuk keberhasilan dan
kebermanfaat bagi orang lain. Hanya beberapa saja. saya tidak mau seperti itu. “jelas tegasnya
membuat aku semakin terdiam, tersindir.
Ada frame baru yang mulai merangkai di fikir ku tentang kebermanfaatan
diri.
mercusuar malam. Seketika kutemui istilah untuknya akibat
analogi dari tausiyah seorang usztad “ jadilah mercusuar malam, tinggi
menjulang, bersinar dan menerangi sekelilingnya. Memberi cahaya bagi nelayan yang pulang
melaut, memberi titik terang bagi pelaut yang kehilangan kompas bahari”. Bus yang kami tumpangi pun datang. Segara aku berkemas barang menunggu jam
keberangkatan didalam bus. Sepanjang perjalanan malah sang silencer yang mendominasi pembicaraan dan aku hanya menjadi
pendengar yang baik dari cerita hikmah yang pertama kali kusimak darinya.
***
Bersabarlah bersama sama sahabatmu, sepanjang waktu persahatan, mak akan kau temui banyak hal2 yang sebenarnya
tentang dia (Riana).
Kota pelajar, Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar