Aku menatap tanggal kalender yang
tergantung dihadapan kursi belajarku. Sudah berganti tahun yang bersambut dari akhir ke awal, tapi waktu masih
betah menyembunyikan jawab akan catatan langit yang masih menghadirkan Tanya “
kapan? Dan siapa?”. Pertanyaan pasrah dari kelancangan hatiku memberikan sebuah
ruang untuk seorang gadis yang aku tidak tau mengapa dia yang terpilih hati dan
apakah ada namanya dicatatan langit. Aku menghela nafas gamang, tidak mengerti
mengapa belum bisa menjawab Tanya ku sendiri “mengapa dia yang terpilih hati?”
sedang aku sadar bukan seperti dia yang ku ingin. Bahkan sampai namanya
terucap dalam bait doaku dalam sujud sujud panjang di sepertiga malam, akupun masih belum mengerti. Aku
tidak berani maju untuk mengkhitbahnya, karena aku belum menemukan jawaban itu.
Mengapa?.
***
“oke, thanks untuk semua
koreksian yang kalian sampaikan” aku memberi aploues ke personal tim ku.
Aku dipercaya oleh atasan untuk memimpin proyek penggarapan nursery akasia untuk ditanam di
perkebunan RAPP. Tim kami terdiri dari lima orang,
tiga lelaki dan 2 gadis. Ada yang selalu menarik perhatianku untuk focus
kesalahseorang hawa di tim ku. Lalita. Gadis berkerudung yang terlalu pendiam dalam
pertemuan rapat rapat kami. Memang
posisinya sebagai bendahara pengelola keuangan, tapi aku juga ingin dia
menyumbangkan pemikirannya yang tak pernah benar2 ku ketahui secara pasti jika
dia tak pernah bersuara.
“lalita apa komentar mu?” dia
hanya menjawab sekenanya. Aku tidak berani menginterfensi lebih. Entahlah.
Biasanya kolerisku selalu bisa membuat orang2 disekitar ku melakukan apa yang
aku mau. Tapi lalita memaksa diriku untuk menghadirkan sikap lembut, mendengar
dan memahami. She is silencer. No
comment. Just nodding of head. aku tak pernah berpikir jauh tentang rasa
saat itu. Tidak tertarik. Apa yang dimiliki gadis seperti lalita?. Hingga disatu momen aku
menemukan sosok lalita yang berbeda. Gelar baru dari ku untuknya, diam
menghanyukan.
***
Tambahan teory tentang nursery akasia menggiringku untuk
menjelajahi dunia googling karena file kuliah yang tersimpan di memori otakku
waktu kuliah di fakultas kehutanan gagal ditemui. Ketika itu kutemui sebuah CV bernama lengkap Dr. Lalita purwaningsing bertuliskan inggris. mungkinkah ini milik lalita yang ku kenal?. seksama ku membaca dan yakin hati baru muncul saat lihat foto 3x4 di CV itu. benar rupanya. Catatan CV yang amazing, ternyata lalita adalah seorang scientist yang kerap mengisi seminar2
nasional dan internasional, penulis opini yang sering terbit di koran2 bergengsi, dan penulis. Kombinasi otak kiri dan otak
kanan yang seimbang. Aku terpana. Seketika ku rasa simpati menjalar ke otakku
terhadap seorang lalita si pendiam yang menghanyutkan. Harusnya dia bisa
menyumbangkan ide terbaik untuk keberhasilan proyek itu tapi dia selalu
mengizinkan aku untuk memimpin kami semua tanpa ada koreksi menggurui dari hal2
yang sebenarnya dia lebih tau dariku. Seketika ciut nyali ku yang sempat
menjengkal lalita. Tenarnya tidak mengubah sikapnya yang selalu tenang dan tak
terkesan menyombongkan diri. tapi lalita yang gak tenar atau gue yang kuper? ah apapun yang kurasa perlahan
pesona lalita menyelusup hatiku.
***
“ngopi dik?” tegur fatir, rekan
kerja di tim yang aku pimpin. Sahabat sejawat yang langgeng sejak kuliah hingga
meniti karir.
“eh, gak gue masih mau
menyelesaikan kerjaan dulu”. Jawabku menoleh sekilas ke fatir yang sedang
menenteng secangkir kopi panas. Sebenarny ingin sekali aku beranjak ke pantry
sebentar untuk menyedu kopi panas, pasti nikmat sekali di tengah udara dingin kota
ini. Tapi deadline laporan proyek menahan langkahku.
“ya udah, gue buatin ya” tawar
fatir baik hati.
“ boleh, kopi susu ya”
Aku masih sibuk membolak balik
laporan analisis yang dikerjakan tim ku, perlu energy lebih untuk menyatukan
semua pisahan solusi yang tertuang di kertas A4. Aku harus memulai dari mana?. Tanganku meraih lembar kerja lalita. Mata ku dengan seksama merekam rangkai kata
menjadi informasi utuh yang diterima otak ku. Informasi yang mudah
dicerna. Haa, good..batinku bergumam.
Seketika ku tahu harus memulai dari mana. Jariku sibuk mengetik di tuts Hp yang sudah
sejak subuh menyala. Konsentrasiku
terpecah saat dengan tiba2 syaraf otakku malah mengirimkan pesan tentang sosok
lalita, yang membuat adrenalinku sedikit bereaksi. Apa karena setelah aku tau apa yang dimiliki gadis itu sekarang
menguatkan hati ku memilihnya? But she’s not my type. But how can?. Aku
teringat pertama kali pak hermawan, atasanku memperkenalkan aku dengan lalita
dan tim laiinya di ruang rapat. Lalita satu2nya orang luar perusahaan
kami tetapi masih dari satu induk perusahaan yang sama. Kesan pertama biasa saja. Tak terlihat
malah. Ah Rabb apa yang kau ingikan? Sunggu tak pernah ku minta untuk ada
namanya diruang hatiku. Tapi dengan tiba2 Kau buat pesonanya menyapa, sedang
aku tidak pernah tau apa isi catatan langit itu. Sungguh ini mengganggu Rabb. Dialog
hati dengan sang Rabb ku terputus saat fatir menepuk pundak ku. plaaak
“hey, kok malah ngelamun? Katanya
mau menyelesaikan deadline laporan. Nih pesananmu” fatir menyodorkan segelas
kopi susu dengan asap yang masih mengepul, sigap ku sambut dan beberapa saat
kemudian bibir gelas telah mendarat di bibirku, dengan nikmat aku menyedunya.
“ngelamunin apa bro, serius
amat?” Tanya fatir penasaran.
“ lalita…gadis itu mengganggu
fikiran ku sejak beberapa waktu belakangan ini” jawab ku mantab yang membuat fatir
hamper tersedak kopinya. Spontan menatap ku lama dan bengong.
“kenapa ngeliat gue kayak gitu?”
Tanya ku tak mengerti. Sejurus kemudia ku dengar tawa fatir pecah. Aku sedikit
tersinggung. Aku tidak bermaksud melawak dan entah apa yang buat dia tertawa.
“ hahaha,,,dika, sumpah gue gak
nyangka..lo naksir lalita?? Beneran bro? kok bisa?” tawanya menjadi Tanya
serius saat fatir menangkap eksperi datarku. Kok bisa? Mana gue tau? Pertanyaan itu masih belum sempurna terjawab.
Yang ku tau lalita mampu mengungkung sikap kerasku menjadi lebih lembut,
mengubah egoisku untuk lebih mengalah dan mendengarkan orang lain, mengganti
cuek ku dengan sikap perhatian.
“ gue hanya gak habis piker aja,
soalnya gue tau lalita bukan tipe lu.
bagaimana bisa gadis berkurudung dengan penampilan sederhana itu bisa
menarik perhatian lu. hati lu yang selama ini lu tutup rapat2 dari gadis mana
pun. Hmm tapi apapun bro, klu elu emang serius sama dia, lamar segera. Gue bisa
bantu lu.” ini yang ku suka dari fatir, cowok blasteran sunda sumater yang
selalu penuh solusi dan konkrit. Tapi masalahnya aku belum bisa menjawab
mengapa aku melamar lalita dan masih bimbang dengan catatan langit. Ah, mengapa aku begitu takut di tolak
lalita. Kenapa lalita harus menolakku sedang banyak gadis diluar sana yang
ingin menjadi pendampingku. Antara
pertanyaan sebuah kenyataan dan perasaan sombong memang beda tipis.
“ oke, besok gue temui lalita.
Gue akan bilang dika permana ketua tim kita yang juga wakil direktur perusahaan
ini ingin melamarnya.” Tegas fatir yang menyela lamunku. Aku gelagapan.
“eh jangan dulu, terlalu cepat
fatir” protes ku.
Fatir berontak tak setuju “
kumaha atuh kang cepet ha. Udah saatnya elu menikah. Syarat agama untuk menikah
mah ke elu jatuhnya udah wajib. Yaudah istikharah dulu deh. Tak tunggu jawaban
pasti tu. Eh, gue balik ke ruangan yak, masih banyak kerjaan. Jangan galau
terus bro. semga diberi petunjuk terbaik” tanpa menunggu respon ku fatir
langsung ngeloyor pergi. Aku mendengar
helaan nafasku sendiri begitu berat. Jika
memang lalita, mudahkanlah jalannya ya Rabb…
***
Titik air itu masih betah saja
jatuh dari langit, dan mendungpun masih setia menemaninya, walau sebentar lagi pasti
akan ada angin yang datang menggiring mereka ketempat lain, memberikan
kesempatan matahari menemani bumi. Jam
dinding masih berdetak dengan ritme yang sama. Tanggal kalender pun berlalu satu
persatu menggantikan waktu dan kisah setiap detiknya. Tapi sayang bukan kisah penantianku. Semuanya masih sama, tanpa jawab sejak aku
menyampaikan niat baikku untuk melamar lalita beberapa bulan lalu melalui
perantara sahabat baikku, fatir yang sudah menikah 2 tahun lebih dulu dibanding
aku. Fatir dan istrinya menemui lalita sesaat
setelah aku menyampaikan kemantapan hati. hari ini aku menanti ujung lidah lalita berbicara melalui fatir. Burung pelatuk begitu ramai bertengger di dada ku, menciptakan debar yang cukup kencang dan sesaat ku rasa langsung lenyap ketika mendengar ucapan fatir.
“ jawabnya belum siap dik. Dia tidak menyentuh sama sekali surat
mu. Dan dia juga tidak bertanya
siapa?. Aku tidak sempat menjelaskan kalau
itu adalah kamu, Karena lalita bilang kalau dia saat ini belum siap untuk
menikah. tapi aku yakin dia tahu pasti namamu yang terpesan disana dik. tapi bukan hanya kamu ternyata yang
mencoba meminangnya. Sudah beberapa
lelaki yang datang, tapi dia tak menyatakan
apapun. Hanya mengatakan saya belum siap dan saya masih banyak kekurangan. Saya
tidak ingin menyakiti siapapun, dan tidak ingin memberikan harapan apapun dalam
bentuk apapun. Jadi maaf mas fatir dan mba rifa, saya hanya bisa mengatakan
sebatas pernyataan itu.” Pernyataan fatir membuat aku diam membeku. Lama. Setelah kemudia ku mendengar
suara ku sendiri, parau, bertanya ke fatir
“jadi kapan lalita siap? Apakah
dia sudah punya calon suami?” jawabku hanya di tanggapi dengan gelengan kepala.
“ aku melihat lalita itu gadis
istimewa yang tak pernah tersentuh benar2 tersentuh kaum adam. Dia
begitu menjaga. Masalah calon suami, sepertinya belum ada. Tapi elu pasti
taulah si silencer itu begitu misterius.”
Ah lalita, apakah namamu di catatan langit itu yang menyatakan kau adalah tertakdir sebagai pendampingku? Ingin sekali ku kirim tanya bersama percikan kilat sore ni ke malaikat langit agar segera mengirim kabar
bersama guntur yang secepat mampir di ruang bumi, bahwa memang nama mu lah yang ada tertakdir untukku, sehingga
penantianku tenang walau tak berjawab saat ini dari lisanmu. Tapi ternyata
titipan itu tidak sampai kelangit. Entah tercecer dimana. Guntur hanya
mengirimkan hujan bersama dingin yang menambah titik beku penantianku dengan
sisa tanya yang tak terjawab. Hanya ada pasrah dan penyerahan hati seutuhnya
kepada pemilik catatan langit…
*** Bogor 2014, di Bulan Merah Jambu